Djawanews.com – Polemik terus berlanjut dalam penggarapan Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang digarap oleh BUMN Negara China. Kontroversi tersebut bahkan mulai menyeruak sejak 2015 silam. Setidaknya ada 3 alasan yang membuat Presiden Joko Widodo memilih Negeri Panda. Diketahui, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung mengalami pembengkakan biaya dan gagal memenuhi target penyelesaiannya. Pada mulanya, proyek ini menelan biaya Rp86,5 triliun. Saat ini biaya proyek tersebut jadi Rp114,24 triliun, membengkak Rp27,09 triliun, dana tersebut tentu tidak sedikit. Target penyelesaiannya pun mengaret dari target awal 2019 jadi mundur ke 2022. Pemerintah tidak ingin proyek tersebut terbengkelai, oleh karenanya pemerintah berencana menambal kekurangan dana tersebut dengan uang APBN melalui skema penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN yang terlibat di proyek tersebut. Janji Kereta Cepat Negeri Tirai BambuChina memenangkan persaingan dengan Jepang dalam pengerjaan proyek kereta cepat 142,3 km itu. Jepang menawarkan proposal dengan nilai 6,2 miliar dolar AS, sedangkan China mengajukan 5,5 miliar dollar AS. Jepang menawarkan pinjaman dengan tenor 40 tahun dan bunga 0,1 persen. Sementara China dengan tenor yang sama, menawarkan bunga pinjaman 2 persen. Sedikitnya, ada tiga alasan mengapa jadinya pemerintah Indonesia memilih China ketimbang menggunakan teknologi Jepang yang sudah lebih dulu melakukan studi kelayakan dan menawarkan bunga utang jauh lebih rendah. Baca Juga:
1. China Janji tanpa APBN China berhail memenangkan proyek kereta cepat lantaran menjanjikan proyek tersebut bisa dilakukan murni dengan skema bisnis antar-BUMN kedua negara alias business to business (B to B). Menteri BUMN 2014-2019 Rini Soemarno menyebut pemerintah Indonesia menerima China karena Negeri Panda menawarkan pembangunan proyek tanpa APBN seperser pun. "Begini soal kereta cepat supaya semua jelas. Padahal kan sebetulnya keputusan pemerintah sangat jelas. Nah kalau dilihat dari dua proposal yang diterima, yang memenuhi syarat adalah proposal dari Tiongkok. Karena dari Tiongkok tidak meminta jaminan dari pemerintah. Tidak minta anggaran dari pemerintah dan ini transaksi B to B karena BUMN dengan BUMN," ujar Rini Soemarno saat itu. Karena itu kata dia, Kementerian BUMN melakukan pendalaman kepada BUMN China. Alhasil, disepakti untuk membuat joint venture agreement. "Yang diputuskan juga adalah ini konsorsium dari BUMN (dikerjakan BUMN tanpa APBN)," ujar Rini Soemarno. Menurut menteri saat itu, APBN tidak bisa dibebani lagi untuk membangun Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepanjang 142 km itu. Itu disebabkan, dana APBN telah difokuskan untuk membangun infrastruktur di seluruh Indonesia, tak hanya Pulau Jawa saja. Ada beberapa BUMN yang terlibat dalam konsorsium proyek kereta cepat meliputi PT Wijaya Karya Tbk, PT Jasa Marga, PT Kereta Api Indonesia, serta PT Perkebunan Nusantara VIII. Sementara China juga membentuk konsorsium demi proyek yang akan menelan dana puluhan triliun itu. Tutur Rini, China Railway Corporation (CFC) akan memimpin konsorsium BUMN Tiongkok itu. 2. China Tak Minta Jaminan Pemerintah Saat mengajukan proposal Kereta Cepat Jakarta Bandung, Jepang tak mau menggarap proyek tersebut apabila pemerintah Indonesia tidak memberikan jaminan. Namun di tengah keraguan pemerintah Indonesia atas tawaran Jepang, China kemudian muncul dan menawarkan kerja sama pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung dengan skema pengerjaan oleh BUMN. China meyakinkan pemerintah Indonesia tidak perlu memberi jaminan ke proyek tersebut. Dengan kata lain, jika pun di kemudian hari ada masalah pembangunan seperti biaya investasi yang membengkak atau kendala lainnya, risiko itu diserahkan ke perusahaan konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Baik pihak China maupun BUMN Indonesia, bisa menambah modal yang nantinya akan menambah besaran saham di PT KCIC dan mendilusi pemilik saham lainnya dalam konsorsium. 3. China Janji Terbuka Soal Teknologi Alasan terakhir yang menjadikan Indonesia lebih memilih China adalah Negeri Tirai Bambu itu mau terbuka soal teknologi sehingga ada kemungkinan transfer ilmu. Berlainan dengan Jepang, dalam proposalnya tidak disebutkan adanya keterbukaan teknologi. Hal inilah yang menyebabkan terhentinya diskusi pemerintah Indonesia dengan Negeri Matahari Terbit itu. Ingin tahu informasi mengenai berita terbaru lainnya? Pantau terus Djawanews dan ikuti akun Instagram milik Djawanews |