Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Kantor Manajemen Risiko dan Perlindungan Lingkungan Kerja (KMRPLK) menggelar workshop pertolongan pertama pada kecelakaan gigitan ular bagi civitas akademi pada Jumat (26/11) lalu.
Workshop yang berlangsung secara daring itu menghadirkan pakar toksikologi dari Indonesia Toxinology Society (ITS) dan Peneliti Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Pusat 2 Kementerian Kesehatan RI, Tri Maharani.
Kepala KMRPLK IPB, Aceng Hidayat menerangkan bahwa workshop ini ditujukan agar warga kampus negeri tersebut dapat hidup berdampingan sekaligus berjaga-jaga apabila terjadi kasus digigit ular. Sebagaimana dilansir dari kompas.com
Sebelum ia menjelaskan pertolongan pertama, Tri memaparkan kondisi letak geografis Indonesia menjadikan jenis flora dan fauna begitu beragam, termasuk dengan jenis ular sehingga ada perbedaan gigitan ular berbisa atau tidak dapat dilihat dari jenis bekas gigitan yang menyerupai tusukan.
“Kasus kejadian ular berbisa di masa pandemi dikatakan cukup tinggi dan kasus ini merupakan kondisi kegawatdaruratan yang tidak boleh diabaikan,” terang Tri Maharani, dikutip dari Kompas.com, Selasa 30 November.
Tri menerangkan, biasanya akibat fatal dari gigitan ular berbisa gagal nafas karena otot-otot pernafasan mengalami kelumpuhan akibat toksin dari ular berbisa hingga mengakibatkan gagal jantung dan kematian.
Namun demikian, ia menyayangkan persepsi penanganan gigitan ular di masyarakat kadang masih bersifat magis atau melalui tindakan yang tidak direkomendasikan.
Misalnya seperti disedot, diikat, dikeluarkan darahnya, atau diobati ramuan herbal, dan lain sebagainya.
“Peristiwa ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita bersama bahwa first aid di kalangan masyarakat, medis, maupun terpelajar ternyata masih merupakan first aid yang tidak terekomendasi dan tidak teriset dengan benar, sehingga masih tidak bisa dipertanggungjawabkan,” ungkapnya.
Pertolongan Pertama Mengatasi Gigitan Ular Yang Direkomendasikan
Tri menjelaskan, cara yang direkomendasikan berdasarkan riset WHO (World Health Organization) melalui imobilisasi atau tidak membuat area tubuh yang terkena gigitan itu untuk bergerak. Area tubuh dapat ditahan misalnya dengan menggunakan papan kayu.
Namun demikian, terdapat jenis ular seperti kobra Sumatera atau kobra Jawa yang dapat menyemburkan busa sehingga penanggulangannya yakni dengan melakukan irigasi dengan memberikan air atau cairan infus.
“Venom dapat mengenai mata dan sifatnya kolagenase, sehingga dapat menyebabkan kebutaan apabila tidak dilakukan pertolongan pertama yang benar,” kata Tri.
“Bila pertolongan awal sudah benar, ketidakadaan antivenom tidak menjadi masalah lagi karena kita telah bisa memotong rantai preventif tadi menjadi rantai kuratif,” tambahnya.
Saat ini, katanya, ketersediaan antivenom di Indonesia hanya dua macam, apalagi antivenom perlu diimpor dan pembeliannya tidak semudah obat komersial sehingga pertolongan pertama menjadi skill yang penting.
“Apabila pertolongan pertama dan pemberian antivenom tidak efektif dan korban mengalami gagal jantung, usaha terakhir yang harus dilakukan adalah melakukan pijat jantung. Bantuan hidup dasar ini seharusnya dimiliki oleh setiap warga Indonesia, bukan hanya petugas medis,” pungkas Tri Maharani.