Djawanews.com - Seperti namanya, makanan cepat saji adalah makanan yang cepat, murah, dan mudah didapatkan. Sayangnya, makanan cepat saji cenderung memiliki lebih banyak efek samping ketimbang manfaatnya.
Ahli penyakit menular dan peneliti medis Dr Chris van Tulleken melakukan penelitian terhadap efek samping makanan cepat saji terhadap kesehatan seseorang, terutama anak-anak.
Penelitian itu didokumentasikan dalam fitur What Are We Feeding Our Kids di BBC Earth.
Chris hanya makan makanan olahan seperti ayam goreng, hamburger, dan pizza selama empat minggu. Makanan-makanan itu merupakan 80% dari dietnya, dan naik jadi 30% sebelum eksperimen berlangsung.
Awalnya, Chris berencana hanya makan tiga kali sehari, ditambah sekali ngemil. Namun peneliti berusia 42 tahun itu ternyata jadi lebih mudah lapar.
Dia mengaitkan dengan fakta bahwa makanan cepat saji cenderung memiliki tekstur yang lebih lembut. Hal ini membuat makanan lebih mudah dikunyah dan dicerna.
Makan Lebih Banyak Lagi
Kenyataan itu juga mendorong seseorang untuk makan lebih banyak lagi.
Dr. Chris mengatakan bahwa makanan olahan membentuk 60% dari total makanan rata-rata di Inggris. Jumlah itu lebih tinggi pada anak-anak, dengan banyak yang mengonsumsi makanan yang terdiri dari 80-90% makanan cepat saji.
“Keluarga bergantung padanya. Ini seperti mengatakan, berapa jumlah maksimum rokok yang harus Anda hisap atau jumlah maksimum bir yang harus Anda minum? Jawabannya adalah, sesedikit mungkin," katanya.
Lantas, apakah makanan cepat saji benar-benar tidak baik? Jawabannya adalah ya. Chris mengatakan makanan cepat saji hampir tidak memiliki fungsi nyata. Yang ada hanya murah dan mengandung kalori saja, bahkan tidak mengandung nutrisi.
Dr. Chris menyarankan, jika kita punya waktu, keuangan yang baik, dan keterampilan idealnya kita tidak boleh makan makanan cepat saji apa pun. Apalagi selama sebulan penuh.