Djawanews.com - Populasi penduduk Singapura dilaporkan menurun. Penurunan ini bahkan termasuk yang terparah sejak 1950. Hal ini berbanding terbalik dengan Indonesia yang sedang menikmati bonus demografi.
Sebuah laporan menyebutkan, penurunan persentase ini terjadi karena pembatasan perjalan selama pandemi Covid-19. Orang-orang asing pun mulai menjauh dari Singapura yang jadi pusat keuangan Asia.
Laporan kependudukan tahunan menyebut pula bahwa populasi negara itu menyusut selama dua tahun berturut-turut. Kali ini adalah yang ketiga kalinya Singapura mengalami pertumbuhan negatif sejak 1950.
Total penduduk termasuk orang asing yang tinggal, bekerja, dan belajar di Singapura tetapi bukan penduduk tetap, turun 4,1% menjadi 5,45 juta orang. Hal ini adalah akibat dari penurunan 10,7% dalam populasi non-penduduknya.
Insentif dari Pemerintah
Serupa dengan negara maju lainnya, Singapura telah mengalami penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua. Pemerintah telah berusaha untuk membayar penduduk agar warga Singapura memiliki anak selama pandemi Covid-19.
Pada 2020 lalu, Wakil Perdana Menteri Singapura mengatakan insentif yang diberikan juga untuk membantu meyakinkan orang-orang menghadapi tekanan keuangan. Termasuk juga kekhawatiran soal pekerjaan jika mereka memiliki anak.
Pemerintah Singapura pun berkali-kali memperbaiki kondisi rendahnya angka kelahiran sejak 1980-an. Mereka telah menggelar kampanye publik yang mendorong persalinan dan memberikan insentif keuangan serta pajak yang menghentikan kemerosotan angka kelahiran di Singapura.
Untuk diketahui, tingkat kelahiran di Singapura hanya 1,14. Itu berarti, seorang perempuan rata-rata hanya melahirkan seorang anak. Posisi Singapura sendiri sejajar dengan Hong Kong meski lebih baik daripada Korea Selatan atau Puerto Rico.
Untuk mengatasi hal ini, seorang perempuan di Singapura harus memiliki rata-rata 2,1 bayi.