Djawanews.com – Semedi dan meditasi nampaknya mulai ditinggalkan oleh sebagian masyarakat. Padahal aktivitas ini kerap dilakukan oleh tokoh bangsa, terutama di kalangan masyarakat Jawa karena memiliki dampak yang positif terutama dalam hal spiritual.
Semedi adalah istilah dalam bahasa Jawa yang bisa diartikan sebagai bertapa. Sebenarnya ada banyak persamaan yang bisa menggantikan istilah semedi, mulai dari maladihening, tafakur, berdiam diri, bertapa, dan masih banyak lagi.
Meditasi dan Semedi saat Pandemi
Pada dasarnya masing-masing kebudayaan memiliki istilahnya sendiri-sendiri untuk menggambarkan pertapaan. Yang jelas, aktivitas semacam itu pada zaman dulu banyak dilakukan oleh siapapun dan dari mana pun mereka.
Di saat pandemi Covid-19 seperti sekarang, stres dan bertambahnya beban pikiran kerap dialami masyarakat. Dua hal tersebut secara diam-diam bisa menyerang siapa saja dan akibatnya bisa berdampak pada kesehatan. Untuk mengasi hal tersebut, Anda bisa memanfaatkan meditasi dan semedi saat di rumah.
Ada banyak manfaat yang akan Anda peroleh dengan meditasi dan semedi seperti mengurangi kecemasan dan stress, meningkatkan daya tahan tubuh, meningkatkan kualitas tidur, dan juga menurunkan tekanan darah.
Sayangnya kebiasaan meditasi dan semedi tak diturunkan dengan baik oleh masyarakat. Padahal nenek moyang kita menempatkan meditasi dan semedi pada tingkat yang cukup tinggi, bahkan sudah menjadi tradisi kuno.
Kedudukan Meditasi Jawa Kuno dalam Kehidupan Spiritualnya
Istilah Semedi didefinisikan bermacam-macam. Dalam kamus Baoesastra Djawa semedi (sêmadi) diartikan dengan mengheningkan cipta atau ngêningake cipta (Sumber: Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters).
Sedangkan dalam bahasa Sansekerta, istilah semedi berasal dari kata ”samadhi”, yang berarti maju ke depan untuk meraih kesempurnaan, memperoleh keyakinan, dan mengatasi kesukaran dalam kehidupan. Hal tersebut sebagaimana yang diajarkan dalam beberapa kitab suci seperti Raghuvaņsa, Kitab Hukum Manu, Mahabharata dan Harivaņsa.
Sedangkan dalam Ensiklopedi Nasional, semedi artinya menenangkan dan memusatkan pikiran pada masalah keagamaan yang dilakukan dalam sepi. Aktivitas tersebut ditujukan untuk mencapai pendalaman agama dan berusaha berhubungan dengan Yang Maha Kuasa.
Dari berbagai definisi di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa semedi memiliki tujuan untuk mendapat kebijaksanaan dan budi yang lebih besar, lebih baik, dan lebih murni. Artinya seseorang yang bersemedi memiliki tujuan untuk mengendalikan nafsunya.
Saat nafsu dapat dikendalikan, dan jiwanya lebih murni, orang yang semedi berharap mampu mendekat lagi kepada Sang Pencipta. Dengan begitu orang itu akan mendapat tuntunan dalam menjalani hidup.
Tujuan semedi bagi orang Jawa kuno memang cenderung pada kesempurnaan spiritual. Bisa dikatakan bahwa aktivitas semedi bagian dari sufisme Jawa yang mengharapkan kemurnian hidup.
Meski beberapa pendapat menyatakan bahwa semedi bertujuan untuk menaikkan tingkat spiritualismenya, beberapa spiritualis menyatakan bahwa semedi memiliki manfaat yang lain. Aktivitas tersebut dinilai lebih efektif untuk mendapatkan kekuatan gaib dalam pelaku ritual.
Pelaku ritual semedi sendiri datang dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh mistik seperti dukun, peramal, paranormal, dan sebagainya. Atau bisa juga dilakukan oleh guru kebatinan dan orang-orang yang tertarik dengan mistik. Penerapan semedi sendiri dilakukan oleh berbagai kalangan dan masing-masing punya konsep dan metode yang berbeda-beda.
Patut diketahui bahwa dalam ajaran spiritualisme Jawa ada perbedaan antara semedi dan meditasi. Letaknya ada pada tingkatan kesadaran. Semedi adalah tingkat pertapaan yang lebih tinggi dibanding meditasi.
Tingkatan pertapaan ada empat, pertama adalah Perenungan. Tahap ini akan memberi wawasan bahwa Tuhan adalah Dzat Maha Kuasa. Tahap selanjutnya adalah Kontemplasi, tahap yang lebih dalam dari Perenungan.
Tahap ketiga adalah Meditasi. Tahap ini mengacu pada fokus dan relaksasi dalam mencari ketenteraman diri. Sedangkan tahap terakhir atau yang tertinggi adalah semedi. Aktivitas ini berupa berdiam diri dengan kekhusyukan dan konsentrasi penuh.
Kebudayaan Jawa kuno memang kerap memberikan gambaran mengenai tahap semedi dalam produk budanyanya, salah satunya ada pada cerita pewayangan. Berikut ini teks narasi semedi yang diungkapkan dalam naskah pewayangan dalam lakon Wahyu Purbasejati.
Mangsah semadi maladi hening, sidhakep saluku tunggal,
nutupi babahan hawa sanga, mandeng pucaking grana,
ngekes pancadrinya. Sekawan kang arsa binengkas,
sajuga kang sinidikara, kinarya nut laksitaning brata
(Ciptoprawiro, 1986:75-76)
Yang artinya:
Menerapkan semedi menuju keheningan:
Duduk dengan kaki disatukan dan tangan bersilangan,
Menutup sembilan lobang pintu masuk ke dalam badan,
Kedua mata tenang memandang puncak hidung,
Mengendalikan panca indera sampai suwung,
Mengatasi gelora ke-empat saudara,
Mengarah kepada Yang Esa
Tata Cara dan Mantra Meditasi Jawa
Ada banyak tata cara meditasi yang baik dan benar. Masing-masing aliran memiliki caranya sendiri-sendiri, begitu juga dengan orang Jawa. Meski banyak perbedaan, secara umum semedi atau meditasi bisa dilakukan dengan beberapa cara, yakni sebagai berikut.
- Bagi umat Hindu, semedi dikenal dengan Yoga dan Tantra. Dimulai dengan nyanyian dan pelafalan mantra.
- Bagi umat Budhisme, semedi dilakukan dengan duduk bersikap Padmasana atau posisi teratai. Posisi ini dilakukan dengan menyilangkan kaki dengan menempatkan satu kaki pada paha yang berlawanan. Semedi dilakukan dengan atau tanpa menggunakan mantra.
- Umat Kristiani melakukan semedi dengan doa-doa.
Lalu bagaimana cara semedi orang Jawa?
Diah Pitaloka sempat meneliti cara semedi melalui karya tulisnya yang berjudul Semedi dalam Kebudayaan Jawa : Studi Kasus di Tempuran Gadog Sebuah Tinjauan Semiotik. Dalam tulisannya ia mengatakan bahwa semedi metode Kejawen dimulai dengan menutup sembilan lubang kehidupan dan duduk dengan sikap siddhasana atau sikap sempurna.
Sedangkan semedi menurut aliran Sapta Darma adalah dengan duduk tegak bersila, kaki kanan berada di depan kaki kiri. Posisi duduk menghadap ke Timur, tangan bersedakep dengan posisi tangan kanan berada di depan tangan kiri.
Setelah itu menenangkan tubuh dengan cara pandangan mata fokus pada satu titik, sedangkan kepala dan punggung harus berada pada garis lurus.
Diah juga menuliskan tata cara semedi seperti yang dilakukan oleh KRMH Bios G. Abioso Trah Bangun Topo Paku Buwono VI. Beliau adalah salah satu praktisi spiritual Jawa. Berbeda dengan semedi biasa, ia menjelaskan bahwa semedi yang dilakukan beliau dilakukan di air. Berikut tata caranya.
- Ambil posisi semedi yang nyaman di dalam air.
- Membaca bacaan doa yang telah ditentukan, yakni sebagai berikut.
Pembuka: Hong hyang hyanging amerta amertane samahuma humaningsun ya humaning jati wasesa wasesaning jati ya wasesaning ingsun ingsunarsa matek aji kalacakra.
Mantra Rajah Kalacakra:
- YA MA RA JA………….JA RA MA YA
(Siapa yang menyerang membalik menjadi kasih sayang’ (untuk mempagari)
- YA MA RA NI…………. NI RA MA YA
(Siapa yang akan mendatangi (dalam arti tidak baik) akan malah menjauh)
- YA SI LA PA……………PA LA SI YA
(Siapa yang lapar malah akan memberi makan
- YA MI RU DA………….DA RU MI YA
(Siapa yang memaksa malah akan memberi keleluasaan
- YA MI DU SA………….SA DU MI YA
(Siapa yang membuat dosa malah akan memberi jasa)
- YA DA YU DA…………DA YU DA YA
(Siapa yang memerangi membalik menjadi damai
- YA SI CA YA………..CA YA SI YA
(Siapa yang membuat cacat, membalik menjadi membuat utuh dan sehat)
- YA SI HA MA………..MA HA SI YA
(Siapa yang akan menggoda membalik menjadi menyayangi)
Mantra ini adalah ajaran yang baku dan diajarkan secara terikat. Selain itu dalam mengucapkan mantra harus memiliki keyakinan tertentu agar mantra membawa dampak yang diinginkan. Mantra harus dibaca secara terus menerus hingga napas teratur.
Posisi mata boleh terpejam atau tidak, ditahan setiap 2x hitungan, dilakukan hingga terasa masuk ke alam meditasi dan semedi.