Djawanews.com – Suku Toraja dikenal memiliki keberagaman budaya yang sangat unik. Diantaranya adalah upacara pemakaman adat Rambu Solo, atau Aluk Rambu Solo. Aluk merupakan adat kepercayaan, nilai-nilai adat, aturan-aturan, serta ritual tradisional ketat yang sudah ditentukan oleh nenek moyang.
Pada umunya, kematian dianggap sebagai akhir dari kehidupan dan masa dimana kehidupan berhenti. Namun, berbeda dengan kepercayaan masyarakat Tana Toraja. Mereka percaya bahwa roh leluhur akan tetap ada dan menjaga tanah tetap subur dan membawa berkah. Masyarakat Tana Toraja memiliki cara tersendiri untuk memberikan tempat peristirahatan terakhir bagi yang sudah meninggal dunia.
Suku Toraja merupakan suku lokal yang tinggal di daerah pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan. Nama Toraja dipercaya pertama kali disebutkan oleh suku Bugis Sindereng dan suku Luwu sebagai “To Riaja” yang memiliki arti orang yang mendiami wilayah barat.
Upacara adat merupakan salah satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan suku Toraja. Hal ini karena, sebagian besar masyarakat Toraja memegang dan menganut teguh tradisi peninggalan dari para leluhur.
Rambu Solo merupakan upacara adat pemakaman yang digelar sebagai bentuk penghormatan terakhir kepada seseorang yang sudah meninggal. Masyarakat suku Toraja percaya bahwa kematian merupakan perpindahan orang dari dunia ke tempat roh untuk peristirahatannya, atau dalam bahasa Toraja disebut “Puya”.
Mayoritas penduduk suku Toraja banyak yang menganut agama Protestan, namun sejumlah leluhur dan ritual akan tetap dipraktikkan. Penduduk Toraja menjadikan pemisah antara upacara dan ritual secara jelas terkait kehidupan dan kematian.
Penduduk Toraja percaya tanpa adanya ritual Rambu Solo yang digelar oleh keluarga ataupun anak cucunya, maka arwah orang yang telah meninggal akan memberikan kemalangan bagi keluarga yang ditinggalkan. Orang yang meninggal hanya dianggap seperti orang sakit, karenanya masih harus dirawat dan diperlakukan seperti orang yang masih hidup dengan tetap disediakan makanan, minuman, rokok, sirih, serta beragam sesajian lainnya.
Upacara pemakaman Rambu Solo merupakan serangkaian kegiatan yang cukup rumit terkait ikatan adat dan tradisi setempat serta memerlukan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya memakan waktu hingga berbulan-bulan. Selagi menunggu kesiapan upacara, jasad tersebut dibungkus menggunakan kain yang kemudian disimpan di dalam rumah leluhur atau di dalam rumah Tongkonan.
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial Suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual Suku Toraja. Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur.
Masyarakat Tana Toraja (Aluk To Dolo) memiliki prinsip, yakni semakin tinggi tempat jenazah diletakkan maka akan semakin cepat pula rohnya menuju ke Nirwana. Dalam upacara Rambu Solo, apabila yang meninggal berasal dari kalangan bangsawan, maka diharuskan memotong kerbau berjumlah 24 hingga 100 ekor sebagai Ma’tinggoro atau kurban. Bahkan, tak jarang yang menggunakan kerbau belang, yang harganya terbilang sangat mahal. Kerbau-kerbau ini dianggap sebagai kendaraan menuju surga. Tedong Bonga atau kebau albino juga merupakan salah satu hewan yang dikurbankan dalam upacara Rambu Solo.
Upacara pemotongan ini adalah salah satu tradisi khas Tana Toraja dengan menebas leher kerbau dalam sekali ayunan menggunakan sebilah parang. Kerbau pun nantinya akan terkapar tak bernyawa setelah beberapa waktu.
Upacara ini juga mewajibkan peti jenazah untuk dihias dengan kain adat dan tali yang terbuat dari emas atau perak. Lalu, di dalam peti juga dilengkapi dengan berbagai barang yang dipercaya sebagai ‘bekal perjalanan’ arwah menuju surga. Bekal tersebut biasanya berupa pakaian, perhiasan, dan sejumlah uang. Tak heran kalau upacara ini bisa menelan biaya mencapai 4 hingga 5 miliar dan dijuluki sebagai upacara pemakaman termahal di dunia.
Baca artikel terkait Sulawesi Selatan. Simak berita menarik lainya hanya di Djawanews dan ikuti Instagram Djawanews.