Akibat dari imbas perang dagang, mata uang China Yuan akhirnya melemah. Apakah nilai tukar rupiah melemah juga?
Perang dagang antara China dan Amerika Serikat (AS) belum kunjung ada titik temu. Efek dari perang dagang yang terbaru adalah melemahnya yuan terhadap dolar AS yang mencapai 7 yuan per dolar AS. Hal tersebut membuat kekawatiran nilai tukar rupiah melemah menyusul yuan.
Apakah Nilai Tukar Rupiah Melemah Juga?
Namun, babak baru dari perang dagang tersebut nampaknya tidak akan berpengaruh terhadap kondisi nilai tukar rupiah. Dilansir dari kontan.co.id, Selasa (6/8) Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo meyakini jika pelemahan yuan hanya memunculkan risiko terhadap ekonomi China sendiri.
Waluyo menyatakan jika China saat ini masih berusaha untuk mencegah Yuan melemah terlalu dalam, hal tersebut lantaran perlu mendorong permintaan domestik.
Apabila yuan terlalu melemah, hal tersebut tentunya akan mengganggu permintaan di dalam negeri China sendiri. Dilain sisi permintaan domestik menjadi tumpuan di tengah melemahnya kinerja perdagangan eksternal China, terutama dengan risiko perang dagang yang berkepanjangan (prolonged trade-war).
Hingga saat ini BI terus melakukan pengamatan dan melakukan upaya antisipasi terhadap faktor-faktor risiko perekonomian makro di dalam negeri.
Perlu diketahui pagi ini mata uang yuan berada pada level 7,05 per dolar AS. Sementara itu rupiah menembus Rp 13.354 per dolar AS pada pukul 09.30 WIB di pasar spot. Indeks saham (IHSG) juga semakin turun 1,72% ke level 6.069 setelah kemarin ditutup melorot 2,59%.
Jika melihat faktor eksternal yang memperngaruhi pergerakan nilai tukar rupiah, maka tidak hanya dapat dilihat jika sumber tekanan pasar keuangan global berasal dari AS. Banyak faktor yang mempengaruhi keuangan global yang berasal dari berbagai penjuru dunia.
Waluyo juga menjelaskan terkait dengan resiko pasar keuangan global. Menurutnya risiko tekanan tersebut berasal dari berbagai hal, seperti Eropa dengan krisis utang Yunani dan referendum Brexit, juga dari China terkait posisi mata uangnya (Chinese Yuan fixing).
Berkaitan dengan resiko-resiko tersebut, saat ini BI sedang melakukan analisa dan pertimbangan terhadap faktor risiko. Hal tersebut adalah modal BI dalam menentukan arah kebijakan moneter ke depan.
“Risiko potensial, dari sumber mana pun, dihitung oleh BI dan akan dipertimbangkan dalam perumusan bauran kebijakan,” imbuhnya.
Lalu bagaimana dengan nilai tukar rupiah? Menjawab hal tersebut, Waluyo menegaskan jika BI saat ini tetap berada di pasar untuk memastikan nilai rupiah sejalan dengan fundamentalnya.
Lantas nilai tukar rupiah melemah? Hal tersebut tidak dapat serta merta dijawab, tentu saja banyak faktor yang melatarbelakangi nilai tukar mata uang suatu negara naik atau turun.