Penggabungan BES dan BEJ menjadi BEI membuat pasar modal di Indonesia menjadi bergairah.
Lahirnya Bursa Efek Indonesia (BEI) tak bisa dilepaskan dari salah satu Bursa Efek di Indonesia yakni Bursa Efek Surabaya (BES). Indonesia memiliki sejarah pasar modal yang cukup panjang bahkan sebelum Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945.
Pasar keuangan Indonesia telah lahir sejak tahun 1912. Kala itu pemerintah Hindia Belanda membentuk pasar modal untuk menyokong kepentingan VOC di Indonesia. Adapun pasar modal Indonesia merupakan cabang dari bursa efek Amsterdam alias Amsterdamse Effectenbeurs.
Sejak didiran pada Desember 1912. Pertumbuhan pasar keuangan Indonesia tidak selalu berjalan mulus. Pasar modal di Indonesia juga diketahui sempat mengalami vakum, misalnya saja pada eksekusi program nasionalisasi perusahan Belanda di tahun 1956. Kevakuman bursa efek berlanjut hingga 1977.
BES dan sejarah pasar modal di Indonesia
Pada 10 Agustus 1977 Presiden RI ke-2 Soeharto kembali meresmikan pasar modal di Indonesia. Bursa Efek Jakarta (BEJ) dikemudikan di bawah komando Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) yang di kemudian hari berubah menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Saat itu, PT Semen Cibinong menjadi emiten yang pertama melantau di pasar modal Indonesia.
Sebagai informasi, pembukaan BEJ dilakukan bersamaan engan pembukaan Bursa Efek Surabaya dan Bursa Efek Semarang. Adap BES merupakan bursa efek pertama yang dikelola oleh swasta yakni PT Bursa Efek Surabaya.
Dalam perjalanannya, bursa efek semakin tumbuh. BES akhirnya bergabung dengan BEJ pada 30 Juni 2007 menjadi Bursa Efek Indonesia. Kendati demikian, kantor BES tetap di pertahankan karena peluang besar pasar keuangan dari kawasan Indonesia bagian Timur.
Selenjutnya, Presiden Ri ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono meresmikan Bursa Efek Indonesia pada tahun 2008.
Bekas Direktur Bursa Efek Surabaya, Guntur Pasaribu menjelaskan, bergabungnya BES dengan BEJ menjadi BEI membuat pasar modal di Indonesia menjadi lebih besar di pasar regional. Kondisi ini membuat bursa menjadi bersaing dengan bursa regional namun tidak dengan bursa lokal.
Sebelumnya kedua bursa efek bersatu, Guntur menyebut telah membentuk tim merger yang bekerja untuk membuat kajian. Dia berkisah, diawal penggabungan BES dan BEJ ada beberapa pertanyaan yang dilontarkan oleh beberapa emiten yang merupakan single listing di BES.
“Saham atau Obligasi, bagaimana status perusahaan mereka bila merger, apakah tetap listing di bursa hasil merger,” papar Guntur, Senin (12/8/2019) seperti dikutip dari Liputan6.com.
Lebih lanjut lagi, dia menjelaskan, pada saat itu, emiten yang saat itu masih single atau dual listing tetap diperlakukan sama. Gunturpun membenarkan bahwa proses merger BES dan BEJ sempat ngaret selama beberapa tahun sejak dibuat kajian merger.
Meskipun begitu, proses penggabungan dua bursa efek tersebut tetap berjalan sesuai dengan rencana setelah melewati diskusi dan kajian yang amat panjang dan disetujuai oleh pemegang saham dan Bapepam-LK.
Presiden Direktur Mark Asia Strategic itu mengungkapkan, dengan bergabungnya kedua bursa efek tersebut, kini Indonesia memiliki pasar modal yang berdaya saing global serta membuat pencatatan emiten menjadi lebih efisien. Pasalnya emiten tak perlu lagi repot-repot membayar dua kali listing fee atau biaya pencatatan tetapi cukup sekali di BEI.
Di sisi lain, transaksi saham dan obligasi juga menjadi lebih banyak peminat karena hanya berfokus pada penyebaran informasi perdangan dan pengembagan investor.
Oleh karenanya, BES memiliki perananan penting dalam sejarah pasar modal di Indonesia. Sejak di buka kembali pada tahun 2007, pasar modal Indonesia sudah bergairah ditandai dengan posisi IHSG di level 6.282,13.