Gonjang-ganjing Krakatau Steel, DPR Siap Turun Tangan Panggil Manajemen dan Menteri BUMN.
Rencananya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akan memanggil seluruh manajeman PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) bersama dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan menteri Pekrjaaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) guna membahas kondisi keuangan produsen baja tersebut.
Sebagai informasi, Krakatau Steel dalam 7 tahun terakhir tak pernah mengantongi laba bersih. Belum lagi permasalahan pabrik berteknologi Blash Furnace yang menjadi polemic, karena merupakan proyek besar perusahaan yang tak selesai pembangunannya hingga saat ini.
Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo S menilai ada pengelolaan yang kurang tepat atas BUMN baja tersebut, sehingga permasalahan ini membuat salah satu komisaris perusahaan Roy Maningkas mengundurkan diri.
“Komisi VI akan segera rapatkan karena aset bangsa. Panggil Menteri PUPR dan Menteri BUMN untuk tanggung jawab, manajemen juga dipanggil,” tutur Bambang.
Produk Krakatau Steel Tidak Dimanfaatkan dalam Pembangunan Infrastruktur
Sinergi BUMN sejauh ini masih belum diterapkan dengan baik. Hal itu tercermin dari tak seiring peningkatan pembangunan infrastruktur yang besar dengan penggunaan baja dalam negeri.
Padahal, dana pembangunan infrastruktur ini naik tajam selama masa pemerintahan presiden saat ini. Namun sayangnya, baja yang merupakan komponen utama infrastruktur ini tak menggunakan produksi dalam negeri.
Bambang menilai pemerintah tak memprioritaskan penggunaan baja lokal dalam pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, arus baja impor yang masuk ke Indonesia semakin deras lantaran adanya kebijakan dari pemerintah yang membuat harga jual baja impor lebih murah dibanding baja lokal.
Saat ini, Krakatau Steel memang tengah dilingkupi persoalan berat. Bagaimana tidak? Perseroan mengalami rugi selama 7 tahun. Selain itu juga utang menggunung jauh sebelum jajaran direksi dan komisaris yang baru memegang tampuk amanah di Krakatau Steel.
Jika dilihat dari laporan keuangan tahun 2018, tercatat utang KRAS mencapai US$ 2,49 miliar, naik 10,45% jika dibanding tahun 2017 yang hanya US$ 2,26 miliar.
Utang jangka pendek yang harus dibayarkan oleh perusahaan ini mencapai US$ 1,59 miliar, naik 17,38% dibanding 2017 senilai US$ 1,36 miliar.