Menteri Perdagangan memrediksi kondisi ekspor Indonesia masih sulit karena adanya perang dagang.
Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dan China masih menjadi pokok pembiacaraan pasar. Perang dagang tersebut menimbulkan berbagai efek di seluruh dunia. Indonesia tentu menjadi salah satu negara yang ikut terkena dampaknya.
Pertumbuhan ekspor Indonesia akan sulit
Beberapa hari yang lalu BPS telah merilis hasil catatan neraca perdagangan Indonesia pada bulan Juni 2019. Data BPS menyatakan bahwa neraca dagang Indonesia mengalami defisit sebesar US$63,5 juta pada Juli 2019. Kinerja tersebut lebih buruk dibandingkan bulan Juni 2019 yang masih mencatat surplus sebesar US$200 juta.
Suhariyanto selaku Kepala BPS menjelaskan, defisit neraca perdagangan seiring dengan impor pada bulan Juli 2019 mencapai US$15,51 miliar. Sedangkan ekspornya tercatat lebih rendah, yaitu sebesar US$15,45 miliar.
Pertumbuhan impor maupun ekspor di bulan Juli ini memang jadi salah satu dampak perang dagang. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita bahkan mengatakan pertumbuhan ekspor Indonesia di tahun 2020 masih akan sulit. Perang dagang yang belum juga mereda menjadi biang keroknya.
“Seperti yang saya gambarkan bahwa kondisi (ekspor di 2020) tidak mudah, memang itu fakta yang ada, (perang dagang AS dan China) kapan berakhirnya, kita enggak tahu,” ungkap Enggar di Jakarta, Senin (19/8/2019).
Mendag Enggar juga mengatakan, kondisi sulit yang diakibatkan perang dagang masih akan terjadi hingga pemilu di AS diselenggarakan. Enggar berharap perang dagang antara AS dan China segera berakhir yang akhirnya bisa berdampak baik pada pertumbuhan ekspor Indonesia.
Meskipun perang dagang melemahkan kondisi perekonomia Indonesia, Presiden Joko Widodo telah memerintahkan dirinya selaku Menteri Perdagangan untuk mencari peluang dari perang dagang tersebut.
“Kita ambil mereka banyak sekali yang relokasi industrinya dan sekarang kita harus tangkap itu. Karena tanpa itu kita tidak mungkin ada penambahan ekspor, bahkan penurunan iya,” ungkap Enggar.
Enggar juga menambahkan bahwa Indonesia tetap bisa meningkatkan ekspornya ke China. Salah satu komoditi yang bisa ditingkatkan ekspornya yakni buah-buahan.
“Ekspor kita harus spesifik, kita tidak mungkin ekspor ke China tekstil. Apa sih yang mereka perlukan, buah-buahan tropis, sarang burung walet yang saat ini banyak ilegal. CPO juga tidak ada batasan di China, dan kemudian batubara dan kemudian nikel itu mereka butuh besar sekali,” ungkap Enggar menjelaskan.
Dampak lain dari perang dagang adalah pelemahan Yuan. Presiden telah melakukan pertemuan dengan beberapa menteri bidang ekonomi terkait dampak tersebut. Pelemahan Yuan terus terjadi.
Sri Mulyani menjelaskan, bahwa mata uang Tiongkok telah menembus 7 yuan per dolar AS. Padahal sebelumnya, mata uang Yuan selalu dijaga di bawah 7 Yuan per dolar AS. Atas hal tersebut pemerintah melakukan kajian kebijakan devaluasi Yuan yang mungkin dapat memicu terjadinya persaingan dari sisi mata uang. Selain sulitnya ekspor Indonesia, penurunan Yuan juga akan memengaruhi pasar Indonesia dan harus hal itu harus segera diantisipasi.