Industri tekstil Indonesia sempat menjadi sorotan karena sedang menemui kesulitannya.
Perang dagang yang terjadi antara Amerika Serikat dengan China berimbas ke berbagai sektor bisnis, termasuk pasar global. Salah satunya berimbas pada industri tekstil dan pasarnya di Indonesia. Dampak pada industri tekstil bahkan dianggap sangat signifikan. Industri tekstil dianggap sedang menemui kepiluannya.
Pemain besar industri tekstil tanah air mengalami kerugian
Seperti yang dilansir dari cnbcindonesia.com, dampak perang dagang dirasakan oleh anak usaha Grup Duniatex, anak perusahaan pemain besar industri tekstil tanah air. Grup Duniatex harus rela melihat peringkat (rating) surat utang jangka panjangnya dipangkas habis 6 level oleh S&P Global Ratings dan Fitch Rating, salah satu lembaga pemeringkat kenamaan dunia.
Pada hari Selasa (16/7/2019), S&P Global Ratings memutuskan untuk memangkas habis peringkat utang jangka panjang PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT). S&P juga sempat memberikan keterangannya terkait hal tersebut.
Dalam publikasinya, S&P menyebut bahwa DMDT berpotensi menghadapi kesulitan untuk memenuhi kewajiban terkait syndicated loans. Kewajiban terkait syndicated loans senilai US$ 5 dan akan jatuh tempo pada bulan September 2019.
Meski DMDT berpotensi akan menemui kesulitan, namun S&P memperkirakan perusahaan tersebut tetap mampu membayar bunga dari senior unsecured notes senilai US$ 300 juta pada bulan yang sama.
Di sisi lain, Bos PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) juga sempat berkomentar terkait kondisi industri tekstil di Indonesia saat ini. Dilasir dari cnbcindonesia.com, Jahja Setiaatmadja mengungkapkan, saat ini justru banyak pesanan baru (new orders) dari Amerika Serikat (AS) kepada para pengusaha tekstil Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Amerika Serikat tidak bisa lagi impor dari China karena adanya perang dagang antar kedua negara.
“Jalur itu rada susah. Jadi mereka mencari yang lain. Tapi khususnya bisnis spinning-nya karena ada harga yang turun terutama cotton (kapas) katanya turun terus,” jelas Jahja dalam Paparan Hasil Kinerja Semester I 2019 Bank BCA, Rabu (24/7/2019).
Direktur Utama Bank BCA Jahja Setiaatmadja juga menambahkan, meskipun harga kapas sedang tinggi, ada beberapa industri yang tidak mungkin menurunkan harganya. Jika begitu, maka pengusaha akan membeli kapas sebanyak mungkin untuk persediaan. Namun ternyata harga kapas terus mengalami penurunan. Akibatnya, margin tergerus
“Harga jual mesti ngikutin pasar. Cost-nya dia lebih mahal dari teman-teman yang tidak menyetok barang. Kalau seperti itu akan bermasalah,” tambanya.
Menurut Direktur BCA Jahja, jika pengusaha bisa mampu mengatur suplai kapasnya, meski margin turun namun volume akan terus tumbuh. Jahja menyebut kasus Duniatex ini spinning-nya bisa dilepas ke pasar dengan harga murah.
Catatan yang dikeluarkan S&P tidak beda jauh dengan pendapat Jahja Setiaatmadja. Menurut catatan tersebut, bea masuk sebesar 25% yang dikenakan AS untuk produk impor asal China, termasuk dalam industri tekstil, membuat produsen tekstil asal China merelokasi penjualannya ke negara yang lebih bersahabat. Dalam artian bea masuk yang dianggap masih bersahabat seperti Indonesia.