Harga batubara berhasil naik 2,33 persen dari posisi sebelumnya.
Harga Batu bara berhasil reborn pada perdagangan hari Senin (2/9/2019). Harga komoditas tambang ini berhasil menguat ke level 65,75 dollar Amerika Serikat (AS) per metrik di bursa acuan ICE Newcastle.
Harga batubara naik secara signifikan sebesar 2,33 persen ketimbang posisi terahkirnya pada minggu lalu.
Harga batubara menguat setelah anjlok 30 persen
Meskpun menguat secara signifikan, harga batu bara masih belum kembali pulih sutuhnya karena telah mengalami pelemahan hingga lebih dari 30 persen sejak januari 2019.
Ketidak berdayaan komoditas tambang pada tahun 2019 ini dikarenakan adanya faktor eksternal yakni perselisihan dagang Amerika Serikat dan China hingga hantu perlambatan ekonomi global.
Selain faktor eksternal, faktor domestik juga turut berkontribusi terhadap pelemahan harga batu bara yakni adanya pembatasan kuota impor bagi komoditas tambang yang diterapkan oleh pemerintah.
Dilansir dari CNBCIndonesia.com, sejumlah negara di kawasan Asia-Pasifik telah menjadi konsumen utama dari bara. Sekitar 75 persen konsumsi batubara global banyak digunakan di negara-negara seperti China, Jepang, India, Korea Selatan serta Asia Tenggara.
Bahkan, dalam lima tahun terahkir ini, konsumsi batu bara China menyentuh level hingga 1,91 miliar ton.
Oleh karenanya, jika pertumbuhan ekonomi China tersendat ditambah lagi dengan adanya kuota pembatasan impor, maka permintaan batubara akan semakin berkurang sehingga menyebabkan harga batu bara menjadi terguncang.
Di sisi lain, di pasar dalam negeri, harga batu bara tengah dibayang-bayangi kelebihan produksi yang jumlahnya mencapai 557 juta ton pada tahun 2018. Jumlah itu lebih banyak 15 persen dari target produksi yakni sebesar 485 juta ton.
Pada tahun 2019, Kementerian ESDM telah menyepakati besaran produksi komoditas tambang batubara sebesar 489,13 juta ton. Adapun capaian produksi batu bara pada awal Agustus telah mencapai 48,51 persen dari target yang dicanangkan.
Menurut indikaror MACD, harga batu bara harian dalam satu bulan terahkir masih berada di bawah standar harga dua bulanan. Meskipun begitu, jika dilihat berdasar indikator RSI, komoditas ini telah melewati titik jenuh dan berpotensi naik sejak awal September 2019.