Beberapa analisis pasar global menunjukkan bahwa rupiah berkemungkinan semakin menguat.
Setelah beberapa waktu nilai tukar rupiah melemah, akhirnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) mampu menguat, Selasa (11/6/2019). Ada berbagai faktor mengapa rupiah dapat menguat, salah satunya adalah kondisi global mulai mendingin.
Dinginnya kondisi global bukan berarti sengketa dagang antara Amerika Serikat dan China telah selesai. Belum. Pasar global masih mencoba bertahan dari dampak perang dagang tersebut. Fokus pasar saat ini justru condong ke dampak ongkos ekonomi yang ditimbulkan dari sengketa dagang tersebut.
Beberapa analisis pasar global menunjukkan bahwa pasar masih diliputi ketidakpastian.
Baik ekonomi China maupun ekonomi Amerika Serikat, keduanya terkena dampak dari perang dagang yang dilakukan kedua negara. Negara-negara lain yang menjadi bagian dari mata rantai industri global (global industry value chains) juga terkena imbasnya.
Indikator kegiatan industri di Amerika Serikat seperti Purchasing Manager Index (PMI) mulai terlihat menurun. Selain itu daya serap tenaga kerja (non-farm payroll) juga mulai berkurang. Bahkan kepercayaan konsumen juga mulai melemah.
Seperti yang dilansir dari cnbcindonesia.com, bahwa di pasar obligasi sendiri telah terlihat. dapat diketahui dari selisih yield obligasi pemerintah Amerika Serikat tenor 10 tahun dan 3 bulan menjadi negatif, atau dengan kurva imbal hasil ‘inverted’.
Selama ini memang kurva imbal hasil yang inverted sering dijadikan indikasi melemahnya ekonomi ke depan, bahkan masuk ke resesi.
Ekspektasi melemahnya ekonomi Amerika Serikat ke depanternyata diterjemahkan di pasar futures. Futures Fed Funds Rate untuk akhir tahun 2019 turun ke 1,76% di atas Fed Funds Effective Rate atau suku bunga Overnight yang diperdagangkan pasar uang, yang saat ini di 2,37%.
Dikutip dari CNBC Indonesia, Nanang Hendarsah selaku Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI menjelaskan indikasi penurunan suku bunga the Fed. Ia menjelaskan bahwa adanya selisis antara future market dan suku bunga overnight mengindikasi penurunan suku bunga kebijakan the Fed.
“Dengan selisih antara future market dan suku bunga overnight yang diperdagangkan di pasar uang sebesar 50 bps, mengindikasi pasar berekspektasi suku bunga kebijakan the Fed akan turun dua kali selama semester dua 2019,” ungkap Nanang Hendarsah, Rabu (11/6/2019).
Yield obligasi pemerintah Amerika Serikat 10 tahun saat ini sudah turun. Dari 2.45% di awal Mei 2019 ke 2.15%. Bukan hanya di Amerika Serikat saja. Yield obligasi di negara maju lain seperti Jerman, (yield negatif) dan Jepang juga terus menurun. Penurunan tersebut terjadi karena ekspektasi melemahnya ekonomi global.
“Dengan yield obligasi pemerintah Indonesia (SBN) untuk seri benchmark FR 78 saat ini di 7,7% maka spread dengan yield obligasi AS masih cukup lebar sekitar 550 bps, masih cukup menarik untuk dapat menarik arus modal masuk ke pasar obligasi domestik sehingga dapat menopang stabilitas Rupiah,” tutur Nanang sedikit memberikan analisi globalnya.