Djawanews.com – Mengejar prestasi atau capaian tinggi ternyata butuh pengorbanan. Aspek dalam hidup seperti hubungan, waktu luang, dan kebutuhan fisik serta emosional kerap jadi korban. Tujuannya untuk mencapai prestasi, namun ternyata ketika mendapatkannya merasa tak pernah puas.
Mengutip ulasan Sabrina Samanoff, Psy.D., orang yang berprestasi menginvestasikan sebagian besar energi mereka untuk memenuhi daftar penghargaan yang tak terbatas. Seperti meraih banyak gelar, banyak organisasi yang harus diikuti, promosi yang diraih, dan posisi dewan untuk diterima. Pada akhirnya, pengejaran ini merupakan upaya untuk mengatasi perasaan tak berharga atau merasa tidak cukup apa adanya.
Prestasi dicapai tidak dari nol, tetapi mereka menganggap diri sendiri kurang terampil, pintar, atau secara alami mampu. Ini yang mendorong mereka untuk bekerja lebih keras mengimbangi kekurangan yang dirasakan ini. Persepsi diri yang ‘miring’ ini, kata Samanoff dilansir Psychology Today, berdasarkan kesulitan yang dialami di masa lalu. Menurut temuannya, ada riwayat umum depresi masa kanak-kanak yang tidak terdiagnosis dan tidak hanya membuat mereka terlihat stagnan serta ceroboh tetapi juga tak bisa diobati.
Gambaran Samanoff, ketika mencapai puncak gunung, mereka tidak dapat menikmati pemandangan karena mereka dikondisikan untuk terus mendaki. Seolah-olah puncak yang mereka daki dikepung oleh naiknya air laut. Begitu mereka mencapai tujuan baru, rasanya kurang mengesankan karena dasar kesuksesan mereka meningkat secara bersamaan.
Mencapai tujuan baru, ternyata tak memecahkan masalah internal. Karena pada akhirnya membuat mereka tampak sukses di luar, tetapi terjebak dalam lingkaran setan untuk mencapai tujuan tetapi merasakan keterasingan, kesepian, dan kerja keras bukan cerdas.
Berita ini sudah pernah tayang di media partner Djawanews, Voi.id dengan judul: Orang Berprestasi Tinggi, Kenapa Sering Tak Puas dan Kurang Bahagia?