Di Thailand, para peneliti tengah melakukan riset untuk mengembangkan tanaman ganja sebagai obat.
Penggunan ganja saat sudah dilegalkan di negara-negara Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand. Namun, izin penanaman ganja di dua negara tersebut hanya akan diberikan apabila dipergunakan untuk kepentingan medis dan penelitian.
Lantas, bagaimana status ganja di Indonesia?
Di Indonesia, ganja dimasukkan ke dalam narkotika golongan 1, bagi yang menyalahgunakannya dapat diancam pidana maksimal hukuman mati.
Dokter Danang Ardiyanto dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) menyebut, sampai saat ini pemerintah masih belum mengeluaran izin penggunakan ganja untuk dimanfaatkan sebagai obat herbal.
“Kita mempertimbangkan risk-benefitnya. Risk masih lebih besar dari benefitnya,” ungkap dr Danang dilansir Detik.com, Rabu (9/10/2019).
Danang mengatakan, Indonesia memiliki banyak sekali tanaman herbal yang dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan kanker dengan risiko yang lebih kecil ketimbang ganja.
Dia mengungkapkan, ada beberapa tanaman yang saat ini banyak diteliti untuk membantu pengobatan kanker seperti temulawak, kunyit, bidara upas, rumput mutiara dan meniran.
Atas alasan tersebut, para peneliti di Indonesia masih belum menjadikan ganja sebagai prioritas sebagai pengobatan.
“Sampai saat ini masih belum ada (progres riset ganja medis),” katanya.
Di Thailand, fasilitas riset dan pengembangan ganja sudah dibangun dan berada di Universitas Rangsit, Bangkok, Thailand.
Para peneliti di Thailand tengah melakukan riset untuk mengembangkan tanaman ganja menjadi obat.
Tanaman ganja diolah sedemikian rupa untuk dijadikan minyak ganja. Hasil olahan tersebut kemudian didistribusikan ke seluruh rumah sakit yang ada di Thailand.
Sedangkan di Australia, kebutuhan ganja untuk keperluan medis sedang meningkat tajam. Kendati demikian, penggunaan produk-produk olahan ganja tidak bisa didapatkan secara bebas alias membutuhkan resep dari dokter.
Pemerintah Australia sendiri telah menganggarkan dana sebesar 3 juta dolar Australia atau setara dengan Rp 28 miliar untuk penelitian penggunaan ganja bagi pasien pengidap penyakit kanker. Para peneliti juga telah melakukan uji klinis kepada 11.000 lebih pasien.
“Jumlah kajian klinis yang didesain dengan baik mengenai ganja untuk medis masih terbatas dan kami perlu meningkatkan dasar bukti buat mendukung profesional medis,” ungkap Menteri Kesehatan Australia Greg Hunt, Senin (7/10/2019) dikutip dari Chanel News Asia.
Dalam perjalanannya, ganja dipercaya dapat digunakan sebagai alternatif pengobatan untuk beberapa penyakit seperti kanker, dimensia, Alzheimer, anti nyeri, epilepsi, hingga memperbesar kapasitas paru.
Di sisi lain, penggunakan ganja juga memberikan efek samping yang sangat besar bagi pasien seperti, depresi, mata merah, pusing, intensitas detak jantung meningkat, halusinasi, disorientasi (linglung), merusak daya ingat hingga hipotensi.