Djawanews.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan kekhawatirannya atas kebijakan negara maju yang bisa mempengaruhi kondisi global. Ditakutkan hal itu bisa menahan pemulihan ekonomi tanah air yang tengah berlangsung.
"Saat kita fokus memulihkan ekonomi dan menyehatkan APBN, lingkungan global tidak statis, risiko muncul dalam bentuk yang baru," ujarnya dalam Kick Off Sosialisasi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Jumat, 19 November.
Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2021 mencapai 3,51% (year on year/yoy) dan diperkirakan keseluruhan tahun bisa mencapai 4%. Pertumbuhannya melambat jika dibandikngkan dengan Kuartal II-2021 yang mencapai 7,07%.
Salah satu negara yang dikhawatirkan Sri Mulyani yakni Amerika Serikat (AS). Inflasi AS yang kini mencapai 6% atau tertinggi sepanjang sejarah bisa memaksa Bank Sentral AS Federal Reserve (the Fed) mengubah kebijakan moneter atau yang dikenal dengan sebutan tapering.
"Mereka akan dipaksa menginjak rem. Kalau AS ngerem seluruh dunia ikut terguncang," jelasnya.
Kekhawatiran Sri Mulyani sangat masuk akal mengingat ini bukan pertama kalinya terjadi. Hal yang sama pernah terjadi pada 2013 lalu, ketika pasar keuangan dalam negeri dibuat porak poranda akibat kebijakan tersebut atau disebut taper tantrum. Walaupun Bank Indonesia (BI) meyakini dampak kali ini tidak akan separah dulu.
"Ini akan berdampak pada pengetatan moneter tahun-tahun ke depan, ini harus kita waspadai," ujar Sri Mulyani.
Selain AS, Eropa juga turut memberikan ancaman. Terutama Jerman yang tingkat inflasinya juga melonjak tinggi, akibat kenaikan harga komoditas internasional dan gangguan rantai pasok.
Tak bisa dilupakan juga China yang dikabarkan sedang dilanda gangguan rantai pasok akibat gelombang baru COVID-19.
"Jadi ini lingkungan kita waspadai sampai akhir tahun sampai tahun depan saat jaga ekonomi dan sehatkan APBN," paparnya.