Djawanews.com – Warga di Kalimantan Timur (Kaltim) resah dengan status lahan mereka yang masuk dalam kawasan pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Warga menyampaikan keresahan ini kepada Plt Bupati Penajam Paser Utara (PPU), Hamdam.
Dilansir dari Tribunnews, Hamdan mengatakan sering mendapat keluhan dari masyarakat Sepaku mengenai keberlanjutan hidup mereka pasca pindahnya IKN. Mereka meresahkan tidak hanya lahan tetapi juga tempat tinggal mereka pasca IKN.
Keresan dari warga ini, menurut Hamdan, semakin diperkeruh dengan berbagai isu yang beredar.
"Seolah-olah Pemerintah akan menggusur keberadaan warga terkait IKN ini," kata Hamdam, Jumat 15 April.
Meskipun sebelumnya Pemerintah telah menegaskan tidak akan menggusur masyarakat.
Lantas bagaimana seharusnya Pemerintah agar tidak terjadi konflik lahan dengan masyarakat. Sejumlah pakar menyampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan.
Terkait dengan lahan di IKN, Pemerintah telah membuat Peraturan Presiden (Perpres) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategi Nasional (KSN) IKN dan Perpres tentang Pembagian Wilayah IKN dan Peraturan Kepala Otorita IKN tentang Rencana Detail Tata Ruang IKN.
Luasan lahan IKN mencapai 256.142 hektare (ha) yang berada di Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur dengan kawasan inti yang ada di Kecamatan Sepaku seluas 6.671 ha.
Potensinya terjadinya konflik lahan di wilayah IKN ini lantaran sesuai dengan pengakuan masyarakat setempat, kawasan tersebut masih memiliki status Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK).
Berikut beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah untuk menghindari konflik lahan tersebut:
- Penerapan Prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC) dalam Pembangunan IKN
Menurut Emil Kleden, Ketua Dewan Pembina Yayasan Pusaka Bentala Rakyat & Direktur Eksekutif Yayasan Masyarakat Kehutanan Lestari (YMKL), Prinsip ini penting untuk dijadikan panduan utama bagi pemerintah dalam menjalankan pembangunan IKN.
“Perlu diingat, sumber konflik pada umumnya terkait dengan hak masyarakat atas tanah.
Hak tersebut perlu dipenuhi agar proses pembangunan mendapatkan dukungan ke depannya,” Kata Emil dalam pernyataan tertulis Minggu (17/4) seperti dikutip dari kontan.co.id.
Penerapan dari prinsip FPIC ini bisa dilakukan dengan cara memastikan bahwa persetujuan Masyarakat Adat ini disepakati tanpa merugikan pihak tertentu dari komunitas tersebut (seperti perempuan dan anak muda).
- Pemetaan Lahan Lokasi IKN terhadap Hutan Adat
Rikardo Simarmata, Pakar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada mengungkapkan, Langkah awal pemetaan adalah dengan mengumpulkan data seputar kepemilikan lahan atau tanah yang digunakan untuk IKN.
Kepemilikan bisa jadi oleh individu dan kelompok.
“Di sekitar lokasi IKN sudah banyak pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Mereka di sana sudah bergenerasi.