Dilansir dari blog.netray.id: Udara bersih dan lingkungan yang sehat merupakan hak hidup manusia. Untuk dapat memiliki kualitas hidup yang baik manusia harus mampu menjaga lingkungannya dari kerusakan akibat aktivitas masal dari manusia itu sendiri. Lingkungan perkotaan merupakan lingkungan yang rentan mengalami kerusakan. Aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh masyarakat tanpa disadari juga memberikan dampak buruk bagi lingkungan, seperti halnya polusi. Polusi yang dihasilkan tersebut dapat merusak kualitas lingkungan di sekitar manusia mencakup udara, air, dan tanah.
Kawasan industri dan perkotaan memiliki resiko lebih rentan terhadap paparan polusi, seperti kawasan Ibu Kota di beberapa wilayah di Indonesia. Tak sampai di situ, dampak dari buruknya ketergantungan bahan bakar fosil membuat kualitas udara juga semakin memburuk hingga sebabkan kematian. Dilansir melalui laman greenpeace.org Delhi menderita sekitar 54.000 kematian yang seharusnya dapat dihindari karena polusi udara PM2.5 pada tahun 2020, atau satu kematian per 500 orang. Jakarta menderita sekitar 13.000 kematian yang dapat dihindari karena polusi udara PM2.5 pada tahun 2020 dan kerugian terkait polusi udara sebesar USD 3,4 miliar, setara dengan 8,2% dari total PDB kota.
Tak ubahnya wilayah negara berkembang lainnya, Indonesia juga memiliki ketergantungan yang buruk terhadap bahan bakar fosil. Tak heran bila DKI Jakarta bahkan masuk dalam urutan kelima Ibu Kota terpolusi di dunia pada tahun 2019. Berbeda halnya dengan data pada tahun 2018 yang justru menunjukkan DKI Jakarta masih berada di urutan bawah. Meski tetap saja masuk dalam kategori Ibu Kota terpolusi di dunia.
Pada tahun 2018 Jakarta menjadi ibu kota negara terpolusi ke-10 di dunia dengan rata-rata konsentrasi polutan PM2.5 setahun adalah 45,3 µg/m³. Sementara itu, polusi udara di Delhi, India lebih dari dua kali lipat dari Jakarta. Berbeda dengan data tahun 2020 yang menunjukkan polutan di Jakarta justru mengalami peningkatan dengan berhasil menduduki posisi ke-5 menjadi Ibu Kota terpolusi di dunia. Hal ini tentu menjadi kabar buruk bagi Indonesia, yang sudah saatnya berbenah menuju energi hijau dan pembangunan yang berkelanjutan.
Polusi Udara Indonesia dan Dampaknya Pada Harapan Hidup
Pada September 2021 Air Quality Life Index (AQLI) memuat laporan terkait Polusi Udara Indonesia dan Dampaknya Terhadap Usia Harapan Hidup. Laporan tersebut menyampaikan bahwa rata-rata orang Indonesia diperkirakan dapat kehilangan 2,5 tahun dari usia harapan hidupnya akibat polusi udara saat ini. Alasannya adalah karena kualitas udara tidak memenuhi ambang batas aman sesuai pedoman Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk konsentrasi partikel halus (PM2.5). Indeks polusi yang dikembangkan oleh Michael Greenstone dan rekan-rekannya di Energy Policy Institute di University of Chicago (EPIC) tersebut menunjukkan bahwa dampak kesehatan dari polusi partikulat paling besar terjadi di Depok, Bandung, dan Jakarta, di mana konsentrasi polusi partikulat adalah yang tertinggi.
Melalui grafik di atas tampak Jakarta bahkan pernah memiliki kualitas udara hingga 159 (tidak sehat) pada 12 April. Selain Jakarta, Jawa Barat memiliki kualitas udara sebesar 82 dan masuk dalam kategori sedang pada 26 April. DKI Jakarta dan kota-kota besar di Provinsi Jawa Barat dan Banten menjadi “titik panas” polusi udara selama dua dekade terakhir. Masyarakat di provinsi ini terus menghirup udara yang empat kali lipat melebihi ambang aman WHO sehingga mengakibatkan penurunan usia harapan hidup tiga tahun. Hal ini tentu berbahaya jika pemerintah tidak membuat regulasi terkait persoalan ini.
Siapa yang Bertanggung Jawab Atas Pencemaran Negara Ibu Kota?
Netray mencoba mengamati sebaran dari pemberitaan terkait isu seputar kualitas udara di Indonesia. Hasilnya tampak melalui gambar berikut.
Melalui gambar 4 dapat diamati sebaran lokasi yang menjadi fokus pemberitaan terkait isu seputar udara. Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin pekat warna pada gambar maka lokasi tersebut menjadi top lokasi pembahasan media. Untuk dapat memahami lebih jauh maka Netray mencoba memperbesar gambar dengan hasil sebagai berikut.
Setelah gambar diperbesar maka tingkat kepekatan warna pada setiap lokasi akan semakin tampak jelas. Melalui gambar di atas wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta menjadi wilayah dengan tingkat kepekatan yang paling tajam dibanding dengan wilayah lain pada peta. Hal ini membuktikan bahwa wilayah Ibu kota menjadi wilayah dengan perkembangan isu seputar kualitas udara paling tinggi dan banyak menjadi pembahasan.
Dilansir melalui greenpeace.org Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili Gugatan Warga Negara atas Pencemaran Udara Jakarta akhirnya memutuskan bahwa tujuh pejabat negara yang di antaranya, Presiden RI, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, dan tiga gubernur yaitu Gubernur Provinsi DKI Jakarta, Gubernur Banten, dan Gubernur Jawa Barat, bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran udara di ibu kota selama ini. Majelis Hakim mengabulkan sebagian gugatan setelah persidangan berlangsung lebih dari dua tahun dan mengalami penundaan sidang putusan hingga delapan kali.
Mewakili tim kuasa hukum penggugat, Ayu Eza Tiara menyatakan para penggugat dan tim advokasi yang selama ini mendampingi proses persidangan, mengapresiasi putusan yang dibuat oleh Majelis Hakim dan berpihak pada kepentingan seluruh warga. Ayu menambahkan, dengan adanya putusan ini seharusnya para Tergugat dapat menerima kekalahannya dengan bijaksana dan memilih fokus untuk melakukan upaya-upaya perbaikan kondisi udara daripada melakukan hal yang sia-sia seperti upaya hukum perlawanan banding maupun kasasi.
Hal ini tentu menjadi kabar baik bagi masyarakat, setidaknya melalui putusan ini masyarakat kembali percaya bahwa hak-hak warga negara dapat diperjuangkan melalui pengadilan. Selain itu, pemerintah juga diminta untuk menempatkan alat pengukur polusi dengan jumlah yang memadai mengacu pada penelitian dari beberapa ahli terkait informasi mengenai kualitas udara secara real time dan upaya mitigasinya, serta menyusun strategi dan rencana aksi pengendalian pencemaran udara.
Bagaimana Pantauan News Netray?
Sebagai media monitoring Netray turut memantau pembahasan media pemberitaan daring terkait topik ini. Guna mengetahui perkembangan pembahasan media terkait topik kualitas udara sejak 01 November 2021 sampai dengan 30 November 2021. Simak hasil analisis Netray sebagai berikut.
Berdasarkan pantauan Netray ditemukan setidaknya 1,677 artikel yang berasal dari 115 total media pemberitaan daring dan melibatkan 22.1 juta entitas. Adapun top kategori pada pembahasan media didominasi oleh topik seputar kesehatan, gaya hidup, otomotif, dan pemerintahan. Menariknya pembagian topik dalam berbagai kategori tersebut tersebar dengan angka yang tidak berbanding jauh pada setiap kategori. Mengapa demikian? Hal ini tentu saja dikarenakan pembahasan terkait kualitas udara beririsan dengan kategori-kategori tersebut. Berikut Netray melampirkan sampel pemberitaan terkini terkait kualitas udara yang menjadi pembahasan media pemberitaan online.
Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengakui setidaknya terdapat lima tantangan dalam melaksanakan komitmen pengembangan industri hijau di Indonesia. Pertama adalah industri hijau membutuhkan R&D yang ekstensif dan dapat diaplikasikan secara multisektoral. Kedua, masih banyaknya industri yang masih menggunakan mesin berteknologi lama, yang cenderung tidak efisien, bahkan menghasilkan limbah atau polusi yang cukup tinggi. Ketiga, shifting ke peralatan atau alat fabrikasi yang hijau dan efisien, serta membutuhkan biaya tinggi. Keempat adalah industri hijau membutuhkan SDM yang highly qualified dan highly experienced. Kelima, masih kurangnya insentif, baik fiskal dan non-fiskal yang mendukung pengembangan industri hijau. Kelima tantangan tersebut setidaknya menjadi tantangan tersendiri untuk pemerintah agar terus berupaya melaksanakan komitmen untuk pembangunan berkelanjutan.
Rektor UAJY, Prof. Ir. Yoyong Arfiadi, M.Eng., Ph.D., dalam sambutannya mengatakan bahwa Indonesia dan dunia tidak hanya dihadapkan pada pandemi Covid-19. Namun juga dihadapkan pada isu lingkungan yang semakin kompleks dan memerlukan kontribusi dari banyak pihak untuk mengurangi dampaknya. Isu lingkungan seperti polusi, perubahan iklim, limbah, deforestasi, eksploitasi barang tambang, dan lain sebagainya tidak pernah habis dibahas dalam forum-forum para pegiat lingkungan hidup. Hal ini tentu menjadi alarm bagi siapa saja agar menyadari bahwa kita tidak hanya tengah menghadapi pandemi namun juga krisis lingkungan yang dampaknya semakin nyata.
Kedua pemberitaan di atas menjadi sampel topik pembahasan media terkait isu kualitas udara yang kian mengkhawatirkan setiap tahunnya. Menurunnya kualitas udara tidak hanya berdampak buruk bagi kehidupan saat ini namun juga kehidupan generasi masa datang. Bagaimana tidak, buruknya kualitas udara tersebut terbukti dapat menurunkan angka usia harapan hidup sebanyak tiga tahun. Bahkan usia harapan hidup tersebut akan semakin menurun jika tidak ada upaya dari pemerintah untuk melakukan pembenahan. Tak hanya pemerintah, masyarakat juga memiliki peran aktif untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya menjaga lingkungan.
Demikian hasil analisis Netray, simak hasil analisis lainnya melalui https://blog.netray.id/