Ibu kota baru resmi ditetapkan, namun soal biaya menuai kontroversi.
Ibu kota baru sudah direncanakan secara matang oleh pemerintah. Pemerintahan Indonesia akan ditempatkan pada lahan seluas 180.000 Ha di Kalimantan Timur.
Ibu Kota Baru Pindah, Biayanya Mahal?
Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa kali telah mengatakan jika pemindahan ibu kota akan menggunakan dana APBN seminim mungkin.
Jokowi juga menekankan pada investasi sebesar Rp 466 triliun untuk membangun ibu kota baru. Hal tersebut dinilai dapat sepenuhnya menutup anggaran skema pembangunan ibu kota baru.
Dilansir dari detik.com (4/9/2019) Jokowi menyatakan jika hanya 40.000 Ha lahan yang akan digunakan untuk pembangunan di ibu kota baru. Kemudian sisanya akan digunakan sebagai lahan hutan.
Kemudian pemerintah hanya akan menggunakan sekitar 10.000 Ha untuk membangun pusat pemerintahan, dan kemudain sisanya sekitar 30.000 Ha akan dijual kepada masyarakat.
Penjualannya lahan seluas 30.000 Ha tersebut kemudian tidak akan melalui pengembang atau developer, namun langsung pada perorangan. Angka penjualan sendiri didapatkan dengan skema jika tanah di ibu kota baru memiliki harga jual Rp 2 juta/m2.
“Kalau 2 juta/m2 dikali 30.000 Ha, sudah Rp 600 triliun. Itu sudah selesai dong. Untuk itu udah bisa bangun kota,” kata Jokowi.
Terkait dengan pembangunan ibu kota baru, Jokowi memiliki harapan agar magnet pembangunan Indonesia tak hanya terpusat di Jawa saja, atau java centris. Pemindahan ibu kota ke tengah-tengah wilayah Indonesia diharapkan Jokowisebagai magnet pembangunan merata ke wilayah lainnya.
Selain soal pemerataan pembangunan, beban Jakarta yang sudah sangat tinggi juga alasan Jokowi mengapa ibu kota harus pindah. Jokowi menyatakan jika Jakarta sudah menanggung rugi hingga Rp 100 triliun setiap tahunnya atas kemacetan.
“Info dari Gubernur DKI, itu Rp 100 triliun (kerugian dari beban kota Jakarta) setahun,” ungkap Jokowi.
Meskipun berbagai pihak berpendapat jika pemindahan ibu kota baru tergesa-gesa dan serampangan. Namun Jokowi membantahnya dan menyatakan jika semuanya sudah dikaji secara komprehensif sejak lima tahun terakhir.
“Ketika awal saya jadi presiden, Andrinof Chaniago (Kepala Bappenas 2014-2015) selama 1 tahun sudah lakukan studi. Jadi ini bukan tiba-tiba muncul,” ungkap Jokowi.
Saat ini masyarakat Indonesia hanya membutuhkan transparasi terkait pemindahan ibu kota pemerintah. Jangan sampai pemindahan ibu kota dimengerti masyarakat sebagai agenda politik untuk meraup untung sepihak.
Terkait dengan pemindahan ibu kota baru, memang masih terjadi polemik. Namun polemik tersebut adalah suatu kewajaran, dan membuktikan demokrasi di Indonesia masih ada dan tidak mati.