Djawanews.com – Presiden Rusia Vladimir Putin menelepon Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Kamis (17/3) waktu setempat. Dalam percakapannya dengan Erdogan, Putin membeberkan lima tuntutan Rusia sebenarnya di tengah serangan ke Ukraina.
Penasihat Erdogan dan juru bicaranya, Ibrahim Kalin, mengatakan lima tuntutan tersebut terbagi terbagi atas dua kategori. Empat yang pertama, seharusnya tak sulit dipenuhi Ukraina.
"Yang terpenting di antara mereka adalah penerimaan oleh Ukraina bahwa ia harus netral dan tidak boleh mengajukan diri untuk bergabung dengan NATO. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah mengakui hal ini," kata Ibrahim Kalin, dikutip dari CNBC Indonesia, Jumat 18 Maret.
Ukraina juga harus menjalani proses pelucutan senjata untuk memastikan negara itu bukan ancaman Rusia. Selain itu ada pula perlindungan untuk bahasa Rusia di Ukraina.
Terakhir, ujarnya, terkait apa yang disebut Putin de-Nazifikasi. Ukraina harus mengutuk semua bentuk neo-Nazisme dan berjanji tak memihak.
"Ini sangat menyinggung Zelensky, yang dirinya Yahudi dan beberapa kerabatnya meninggal dalam Holocaust. Tetapi pihak Turki yakin akan cukup mudah bagi Zelensky untuk menerimanya," katanya lagi.
Sementara itu kategori kedua, agak sulit. Dalam panggilan telepon itu Putin, kata Kalin, ini butuh negosiasi langsung antar dirinya dan Zelensky.
Meski tak spesifik, ia menyebut wilayah Donbas, Ukraina Timur, yang selama ini memberontak dan pro Rusia. Ini juga termasuk status Krimea, bagian Ukraina yang dicaplok Rusia sejak 2014.
Sebelumnya Putin telah mengakui kemerdekaan Donbas persis beberapa hari sebelum mendeklarasikan serangan ke Rusia. Di mana berdiri Republik Rakyat Donestsk dan Luhansk (DPR dan LPR).
Di kesempatan yang sama Kalin juga mengomentari isu kesehatan mental Putin. Menurutnya pemimpin berusia 69 tahun itu baik-baik saja.
"Tidak sama sekali," katanya menjawab pertanyaan. "Putin tampaknya jelas dan ringkas dalam semua yang dia katakan."
Serangan Rusia berlangsung sejak 24 Februari. Menurut data PBB 1.300 warga sipil meninggal meski data Ukraina lebih besar dari itu.
Erdogan sudah sejak sebelum perang mengumumkan ingin menjadi penengah antara Rusia dan Ukraina. Turki sendiri sangat berhati-hati dengan konflik kedua negara mengingat statusnya sebagai anggota NATO tapi memiliki banyak kerja sama ekonomi dengan Rusia, termasuk energi dan pariwisata.
Menurut analis GlobalSource Partners, Atilla Yesilada, sanksi substantif terhadap ekspor energi Rusia bisa sangat merugikan Turki (dan mengancam) stabilitas ekonomi.