Djawanews.com – Masjid utama di Srinagar, kota terbesar di Kashmir, sebagian besar tutup selama dua tahun ini, akibat perselisihan sengit antara pihak berwenang India dan warga Muslim Kashmir. Penutupan ini dianggap berbenturan dengan kebebasan beragama di India.
Dikutip dari VOA Indonesia, Selasa (28/12), Masjid Jamia yang usianya ratusan tahun tampak mecolok di kawasan permukiman sekitarnya di Srinagar, dengan gerbang utamanya yang megah dan menara-menara besarnya.
Bangunan yang terbuat dari batu bata dan kayu ini adalah salah satu masjid tertua di kota berpenduduk 1,2 juta, yang 96 persennya adalah Muslim. Ribuan orang kerap salat di masjid yang terletak di kota terbesar di Kashmir itu.
Dengan 378 pilar kayu, masjid ini dapat menampung 33 ribu jemaah. Pada acara-acara tertentu selama bertahun-tahun, ratusan ribu Muslim juga memenuhi jalur dan jalan-jalan di sekitarnya untuk mengikuti salat yang diselenggarakan masjid tersebut.
Namun, pihak berwenang India menganggap masjid itu sebagai tempat timbulnya masalah hingga menjadi pusat protes dan pertikaian yang menantang kedaulatan India atas wilayah Kashmir yang disengketakan.
Bagi Muslim Kashmir, masjid adalah tempat suci di mana mereka melakukan salat Jumat dan juga menyuarakan hal-hak politik mereka.
Di tengah-tengah ketegangan itu, masjid ini hampir sebagian besar tutup selama dua tahun terakhir.
Imam besar masjid itu telah ditahan di rumahnya selama periode itu. Gerbang utama masjid digembok dan ditutup dengan lembaran-lembaran seng gelombang pada hari Jumat.
Penutupan masjid menyulut kemarahan warga Muslim Kashmir.
Bashir Ahmed (65), pensiunan pegawai negeri, yang terbiasa salat di masjid itu selama lima dekade mengatakan,
"Saya merasa tidak nyaman. Ada sesuatu yang hilang, jauh di dalam lubuk hati saya," katanya.
Pihak berwenang India enggan berkomentar mengenai pembatasan di masjid itu meskipun Associated Press telah berulang kali mengajukan permohonan komentar.
Pada masa lalu, para pejabat mengatakan pemerintah terpaksa menutup masjid Jamia karena komite pengelolanya tidak mampu menghentikan protes anti-India di lingkungan tersebut.
Penutupan masjid berusia 600 tahun ini berlangsung dalam penindakan keras yang dimulai pada 2019 setelah pemerintah mencabut status semiotonom yang telah lama disandang Kashmir.
Dalam dua tahun belakangan, sebagian masjid dan tempat-tempat ibadah lainnya di kawasan itu juga ditutup karena penindakan keras keamanan dan pandemi yang mengikutinya telah diizinkan untuk memberikan layanan keagamaan.
Masjid Jamia masih tetap tertutup bagi jemaah yang ingin salat Jumat.
Pihak berwenang mengizinkan masjid itu tetap buka pada enam hari lainnya, tetapi hanya beberapa ratus jemaah yang dapat beribadah di sana, dibandingkan dengan puluhan ribu orang yang sering datang untuk salat Jumat.
Kebebasan beragama tertera dalam konstitusi India, mengizinkan warga untuk menganut dan secara bebas mempraktikkan ajaran agama mereka.
Konstitusi juga menyatakan bahwa negara tidak akan “mendiskriminasi, menggurui atau mencampuri agama apa pun.”
Bagi Muslim di Kashmir, penutupan masjid itu membawa perasaan menyakitkan dari masa lalu.
Pada tahun 1819, penguasa Sikh menutupnya selama 21 tahun. Selama 15 tahun belakangan, masjid ini kerap mengalami larangan secara berkala dan penutupan oleh pemerintah-pemerintah India selanjutnya.
Tetapi pembatasan yang sekarang ini adalah yang paling serius sejak wilayah itu terbagi antara India dan Pakistan setelah kedua negara itu meraih kemerdekaan dari Inggris pada tahun 1947. Kedua negara itu mengklaim keseluruhan wilayah tersebut.
"Pembatasan di wilayah ini telah meningkat sejak Partai Bharatiya Janata yang nasionalis Hindu berkuasa. Kami menyaksikan pembatasan terhadap kebebasan beragama. Kami telah mengalami penutupan masjid pada masa lalu,” ujar Sejarawan Zareef Ahmed Zareef.