Djawanews.com – Kabar terbaru menyebutkan bahwa ide penundaan Pemilu 2024 adalah kemasan lain dari upaya terapkan Presiden 3 periode. Hal tersebut diungkapkan oleh Direktur Pusat Studi Media dan Demokrasi Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto. Ia mengatakan wacana Pemilu 2024 ditunda sangat mirip dengan ide presiden tiga periode.
“Wacana ini kemasan lain dari upaya presiden tiga periode itu, intinya memperpanjang masa jabatan. Wacananya sudah ada sejak 13 Okotober 2019, ketika itu Surya Paloh bertemu dengan Prabowo,” ujar Wijayanto dalam diskusi virtual bertajuk ‘Menunda Pemilu, Membajak Demokrasi’ pada Selasa, 1 Maret.
Menurut Wijayanto, keduanya saat itu menyepakati adanya amandemen UUD 1945, yang salah satunya adalah memunculkan wacana presiden tiga periode. Kemudian, muncul kembali pada Juni 2021, berlanjut pada September pada tahun yang sama, dan yang terbaru awal tahun ini. Apakah memang benar penundaan Pemilu 2024 adalah kemasan dalam bentuk lain dari presiden 3 periode?
Wijayanto Jelaskan Ide Penundaan Pemilu 2024 Bisa Muncul dan Dapat Dukungan dari Beberapa Parpol
Namun, Wijayanto juga mengungkapkan bahwa dulu yang mewacanakan ide ini hanya beberapa orang, termasuk ormas, dan lembaga survei. Namun sekarang, Wijayanto mengatakan wacana ini diperluas oleh para petinggi partai di lingkaran kekuasaan. Seperti Ketua Umum Partai Golkar, Airlangga Hartanto; Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar; dan Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan.
Wijayanto menuturkan yang menarik adalah Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf juga ikut menyampaikan bahwa penundaan pemilu masuk akal. “Jadi sepertinya cukup luas, dan mereka adalah orang-orang yang punya konstituen, apa lagi partai yang jelas tidak hanya punya konstituen pemilih tapi juga punya kursi di parlemen,” katanya.
Menurut Wijayanto, wacana penundaan Pemilu 2024 ini menarik untuk dicermati. Sebab, dalam studi yang dilakukannya, ada empat indikator perilaku otoriter. Salah satunya adalah penolakan atau komitmen lemah atas aturan main demokrasi. “Ini menjadi salah satu alat analisis kita untuk menilai demokrasi di Indonesia selain indikator lain seperti menyangkal legitimasi lawan politik, toleransi atau anjuran kekerasan, dan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan termasuk media,” katanya.
Dapatkan warta harian terbaru lainya, ikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.