Djawanews.com – Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Dudung yang berencana turun tangan mencegah radikalisme dikritik Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras). Langkah Dudung ini dinilai berlebihan dan tidak sesuai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI.
"Pada hakikatnya, kewenangan untuk mengatasi radikalisme merupakan tupoksi dari Kepolisian dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) sebagaimana diamanatkan UU Terorisme. TNI seharusnya fokus kepada tupoksinya sendiri dalam menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, dan melindungi bangsa dari segala ancaman," kata Wakil Koordinator Kontras, Rivanlee Anandar, kepada Republika.co.id, Kamis, 25 November.
Sebelumnya, Jenderal Dudung meminta prajurit TNI AD hingga level Babinsa agar peka terhadap situasi di lingkungan masing-masing, terutama Gerakan-gerakan ekstrem. Ia meminta mereka segera mengambil tindakan bila ada organisasi atau siapapun yang mencoba mengganggu keamanan NKRI.
Anandar melihat wacana tersebut justru mendorong pelibatan TNI dalam ranah sipil yang jelas tidak sesuai dengan undang-undang dan amanat reformasi. Selain itu, pengerahan kekuatan TNI sebagai angkatan bersenjata untuk mengurusi ranah sipil juga berpotensi mencederai demokrasi dan memperburuk kondisi hak asasi manusia.
Anandar juga menyebut tingkat kekerasan yang dilakukan oleh aparat TNI masih terbilang tinggi dan korban utama dari tindakan tersebut adalah masyarakat sipil.
"Dengan adanya ketimpangan relasi yang tinggi antara prajurit TNI dan masyarakat sipil, gesekan dan potensi pelanggaran HAM akan semakin besar terjadi," kata dia.
Anandar menyarankan KSAD fokus membenahi pekerjaan rumah institusi TNI yang tidak kunjung usai daripada melakukan hal-hal di luar tupoksinya. Di antaranya, kultur kekerasan yang terus terjadi, keterlibatan TNI yang masif di ranah sipil dan mandeknya reformasi peradilan militer.
Selain itu, kata Anandar, Jenderal Dudung juga harus dapat mengeksekusi arahan Panglima TNI yang berkomitmen untuk menyelesaikan situasi kemanusiaan di Papua lewat pendekatan nir-kekerasan.
"Saya juga menyoroti ucapan atau arahan KSAD ini dapat dijadikan prajurit di lapangan sebagai legitimasi melakukan stigma terhadap berbagai kelompok yang dianggap radikal. Belum lagi definisi dan standar radikal tidak jelas ukurannya selama ini dan hanya menggunakan tafsir tunggal negara," kata dia.
Kontras khawatir jika TNI terlalu dilibatkan dalam menumpas gerakan radikalisme justru akan memiliki potensi yang sama. Sebab, meluasnya domain militer akan berimplikasi pada penyempitan ruang-ruang sipil.
"Kami mendesak KSAD untuk membatalkan wacana terlibat jauhnya aparat TNI dalam melakukan penangkalan terhadap gerakan radikalisme," kata dia.