Djawanews.com – Seorang algojo pembantaian menceritakan bahwa ratusan orang yang dituduh tergabung dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap dan dipenjara di Kota Sigli, Aceh. Pada malam hari mereka dibunuh secara sadis dengan cara menggorok lehernya. Lubang-lubang pembantaian orang-orang yang dituduh komunis di Aceh pada 1965 dapat ditemukan di berbagai tempat, termasuk di perbukitan Seulawah, di pinggiran Kota Sigli.
“Saya masih simpan parang untuk memotong leher orang-orang PKI. Kalau bapak mau lihat, silakan...” kata Udin (nama samaran).
Pembantaian biadab itu terjadi 56 tahun silam, tak lama setelah peristiwa G30S 1965, ketika langit di atas perbukitan itu makin gulita. Saat Udin berusia 25 tahun, peristiwa penangkapan dan pembunuhan massal atas pimpinan, anggota, simpatisan atau orang-orang yang dikaitkan Partai Komunis Indonesia (PKI), gencar dilakukan di kota di pesisir timur Aceh itu.
Pembunuhan massal ini dilatari oleh sebab pembunuhan tujuh jenderal di pulau Jawa, kudeta yang gagal, polarisasi politik tingkat lokal, dendam pribadi, isu agama, hingga kampanye militer untuk menghabisi orang-orang komunis 'hingga ke akar-akarnya'.
Algojo Pembantaian Bilang Ada Ratusan Orang yang Dibunuh, Namun Data Ham Sebut Puluhan Ribu Orang
Dalam atmosfer seperti itulah, Udin yang kini usianya 81 tahun dahulu direkrut sebagai anggota pertahanan sipil dan disebutkan 'berperan' dalam pembunuhan massal di perbukitan angker itu. Ia bahkan lulus rekrutmen menjadi 'algojo pembantaian'.
Dokumen internal militer di Aceh menyebut orang-orang yang dibantai di wilayah Sigli dan sekitarnya berjumlah 314 orang. Adapun secara keseluruhan korban di Aceh mencapai 1.424 jiwa, menurut dokumen itu.
Namun angka versi militer ini jauh lebih sedikit dari perkiraan para peneliti dan pegiat HAM. Diperkirakan 3.000 hingga 10.000 telah dibantai dalam kurun waktu 1965-1966 di Aceh. Pada tahun-tahun gelap itu, di Kota Sigli dan sekitarnya, ratusan orang-orang yang dituduh PKI ditangkap dan digelandang ke sebuah penjara di kota itu.
Lebih dari 55 tahun kemudian, ingatan Udin atas tindakan kejam di malam-malam jahanam di lubang-lubang pembantaian di sekitar Simpang Betung di perbukitan itu, sepertinya, tak lekang oleh waktu. Udin masih ingat apa yang disebutnya percakapan terakhir dan sekelumit kejadian di menit-menit menjelang para algojo mengayunkan parangnya ke tengkuk para korban.
“Ada yang membawa kitab Surat Yasin di kantong bajunya,” ungkap Udin kepada BBC News Indonesia, pertengahan Oktober 2021 lalu.
“Tapi,” imbuhnya cepat-cepat, “ada pula yang memberikan jawaban murtad 'mana ada Tuhan, apa Tuhan, mana Tuhan?'“
Ini barangkali semacam pesan terakhir sebelum parang diayunkan ke tengkuk orang-orang komunis itu.
Sebagian mereka dipaksa naik ke dalam truk untuk menuju lubang-lubang pembantaian, antara lain di salah satu sudut di perbukitan Seulawah — tanpa diadili terlebih dahulu.
Udin adalah saksi dan berada dalam pusaran kekerasan itu. Dari sumber BBC News Indonesia di Sigli menyebutkan bahwa ia adalah bagian dari tim ‘algojo pembantaian’. Namun dalam wawancara, Udin mengaku hanya berperan kecil sebagai petugas yang berjaga di pos penjagaan tak jauh dari lokasi pembantaian.
Dapatkan warta harian terbaru lainya, ikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.