Djawanews.com – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berharap kenaikan Harga Jual Eceran (HJE) rokok elektrik dan produk olahan tembakau bisa menghambat akses perokok muda terhadap rokok. Hal ini mengacu ke pengalaman berbagai negara yang menunjukkan kenaikan cukai rokok mampu menurunkan konsumsi rokok hingga 15 persen.
"Prevalensi merokok di Indonesia turun, terutama pada remaja usia 10-18 tahun, dari 9,1 persen pada 2018 menjadi 7,4 persen pada 2023. Untuk usia 10 tahun ke atas, prevalensinya turun dari 28,9 persen pada 2018 menjadi 27,1 persen pada 2023," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM) Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, Selasa 17 Desember.
Meski demikian, Siti Nadia menekankan perlunya pendekatan multisektoral karena kebijakan fiskal saja, seperti kenaikan cukai, tidak cukup efektif tanpa dukungan langkah-langkah non-fiskal.
Merokok, kata Siti Nadia, merupakan salah satu faktor risiko utama Penyakit Tidak Menular (PTM) yang sulit dihentikan. Oleh karena itu, perlu ada langkah pencegahan yang terfokus pada anak-anak dan remaja.
"Risiko kesehatan bagi perokok aktif dan pasif sama besarnya. Oleh karena itu, kita perlu mencegah merokok sejak dini, terutama pada anak dan usia remaja," ujar Nadia.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan pengaturan pesan kesehatan pada kemasan rokok, yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan peraturan pelaksanaannya melalui PP Nomor 28 Tahun 2024.
Selain itu, Nadia menyoroti pentingnya penerapan langkah-langkah seperti kawasan tanpa rokok di sekolah dan tempat bermain anak, larangan penjualan rokok batangan, larangan iklan rokok dalam radius 500 meter dari tempat pendidikan dan tempat bermain anak dan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari tempat pendidikan atau tempat bermain anak.
"Orang tua juga harus memahami bentuk dan bahaya rokok elektrik agar dapat mencegah anak menggunakannya, karena rokok ini memiliki bentuk yang berbeda dibandingkan rokok konvensional," tambahnya.
Siti Nadia juga mendorong agar masyarakat mengalihkan pengeluaran untuk rokok ke kebutuhan lain yang lebih bermanfaat, seperti makanan bergizi untuk keluarga.
"Ingat, satu batang rokok setara dengan satu butir telur. Lebih baik uang tersebut digunakan untuk membeli makanan berprotein bagi keluarga," tegasnya.
Dikutip dari laporan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada 2018 terdapat 38 negara yang menerapkan pajak rokok tinggi sebagai langkah pengendalian konsumsi.
Studi WHO pada 2016 menunjukkan bahwa konsumsi rokok di China menurun sebesar 3,3 persen dalam periode April 2015-Maret 2016 setelah kenaikan pajak rokok.
Sementara di Kolombia, konsumsi rokok menurun hingga 34 persen pada 2018 setelah pemerintah menaikkan pajak rokok tiga kali lipat dari 2016-2018. Pajak ini terus meningkat sejak 2019 dan memberikan dampak positif berupa peningkatan pendapatan negara yang digunakan untuk mendanai jaminan kesehatan semesta.
"Dengan pendekatan multisektoral dan kebijakan fiskal yang tepat, kita optimistis dapat melindungi generasi muda dan menurunkan prevalensi merokok di Indonesia," tutup Siti Nadia.