Djawanews.com – Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyebutkan negara bisa mendapatkan penerimaan atau cuan lebih dari Rp1 triliun dari pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi aset kripto di Indonesia, yang akan berlaku mulai 1 Mei nanti.
Kepala Subdit Peraturan PPN Perdagangan, Jasa, dan Pajak Tidak Langsung Lainnya DJP, Bonarsius Sipayung menjelaskan potensi penerimaan negara dari pengenaan PPN dan PPh dihitung berdasarkan total transaksi aset kripto selama 2020 silam yang mencapai Rp850 triliun, di saat pajak kripto belum diterapkan.
“Berdasarkan data yang kita peroleh, tahun 2020 total transaksi kripto di Indonesia ini Rp850 triliun. Berarti dikali 0,2% ya sekira hampir Rp1 triliun sekian,” ujar Bonarsius dalam media briefing, Rabu, 6 April.
Selain itu, DJP juga telah melakukan riset alasan mengapa aset kripto harus dipajaki di dalam negeri. Pasalnya aset kripto bukan merupakan currency atau alat tukar resmi seperti yang diatur di dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Aset Kripto Sebagai Komoditas, Pengenaan Pajak Sudah Sah dan Resmi
Dalam aturan lainnya, di Kementerian Perdagangan misalnya, juga tidak memasukan aset kripto sebagai Surat Berharga Negara (SBN). Namun, di sisi lain, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mengatur kripto sebagai komoditas.
“Begitu komoditas, kita kaitkan UU PPN. Atas penyerahan barang kena pajak, terutang PPN,” tutur Bonarsius lagi.
Reward atau imbalan atas pemajakan terhadap transaksi aset kripto ini, kata Bonarsius adalah pihak yang terlibat di dalam transaksi aset kripto otomatis membantu negara mengumpulkan penerimaan pajak. Yang pada akhirnya uang tersebut membantu masyarakat Indonesia untuk memutar roda perekonomian.
“Rewardnya adalah pihak yang terlibat exchanger untuk membantu bergotong royong, himpun dana yang kita butuhkan. Pajak ini kan fungsi budgeter-nya, kumpulkan uang sebanyak-banyaknya,” jelas Bonarsius.
“Terus nanti pengeluarannya (dari penerimaan pajak) diatur sedemikian rupa agar negara ini hadir dalam konteks negara yang membutuhkan. Negara menghargai pengusaha dan warga negara Indonesia. Mudah-mudahan amal ibadahnya diterima,” kata Bonarsius melanjutkan.
Pada kesempatan yang sama, Kasubdit Humas DJP Dwi Astuti menegaskan potensi penerimaan dari pajak aset kripto seperti yang diatur di dalam PMK 68 Tahun 2022, akan sangat bergantung pada volume transaksi jual dan beli aset kripto di dalam negeri.
“Potensi (Penerimaaan) itu akan sangat tergantung berapa besar transaksi 2021. Tapi yang terjadi 2020 total transaksi kripto sebesar Rp850 triliun jadi jumlahnya bisa naik turun jadi akan sangat bergantung pada Equal transaksinya seperti apa,” jelas Dwi Astuti.
Sebagaimana diketahui dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68/PMK.03/2022 tentang PPN dan PPh atas transaksi perdagangan aset kripto.
Atas penyerahan aset kripto, besaran PPN yang dipungut dan disetor sebesar 1% dari tarif PPN umum atau sebesar 0,11% . Sedangkan jika perdagangan tidak dilakukan oleh pedagang fisik aset kripto maka besarnya PPN yang dipungut dan disetor sebesar 2% dari tarif PPN umum atau sebesar 0,22%
Selanjutnya penjual aset kripto adalah orang pribadi atau badan yang melakukan penjualan atau pertukaran aset kripto, maka penjual dikenai PPh pasal 22 yang bersifat final dengan tarif 0,1% yang akan dipungut, disetor dan dilaporkan oleh penyelenggara perdagangan.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.