Djawanews – Sejarah sepeda di Indonesia tidak lepas dari masa penjajahan kolonial Belanda. Di awal abad 20, sepeda pada umumnya digunakan oleh para pegawai kolonial dan juga bangsawan.
Dalam bukul Pit Onthel, eksistensi sepeda pada waktu itu bahkan digunakan sebagai kendaraan para misionaris dan saudagar kaya. Memiliki harga yang mahal, sepeda di masa lalu menjadi lambang gengsi kelompok elite.
Namun lambang prestige sepeda tidak bertahan lama, dalam catatat Historia, nilai sepeda mulai turun ketika pada tahun 1920-an kendaraan bermotor masuk ke Hindia Belanda. Hingga akhirnya, sepeda menjadi milik orang banyak dan umum.
Banyaknya pengguna sepeda membuat jalanan di kota-kota besar seperti Batavia, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, dan Medan menjadi ramai. Bahkan Yogyakarta di masa lalu mendapat julukan sebagai “Kota Sepeda”.
Di masa lalu pertaruran lalu lintas bagi pengguna jalan sangat tegas rupanya. Hal tersebut diketahui dari buku Atoeran Mempergoenakan Djalan Raja yang ditulis Mr. Dr. F.J.W.H. Sandbergen pada 1939.
Buku tersebut menunjukkan antara pengguna gerobak sapi atau kerbau, pesepeda, delman, hingga kendaraan bermotor sangat jelas dan tertib, meskipun tidak ada marka pembatas di jalan.
Bahkan di masa lalu bersepeda di lajur kendaraan bermotor adalah pelanggaran lalu-lintas yang dinilai sangat serius. Hal tersebut diungkapkan P.K. Ojong dalam Kompas edisi 7 April 1969.
Bagi pesepeda yang melanggar aturan lalu-lintas, jelas hukumannya mulai diinterogasi hingga dikenakan denda. Permasalahan tersebut membuat pemerintah kolonial memperhatian betul kepentingan pesepeda di jalan raya.
Apakah kesadaran bersepeda zaman sekarang tertib seperti di masa lalu? Selain sejarah sepeda di Indonesia, baca juga hal-hal unik dan menarik lainnya, hanya di Konten Serba-Serbi Djawanews.