Djawanews – I Gede Ari Astina atau orang Indonesia Raya mengenalnya dengan Jerinx. Kini ia ditetapkan sebagai tersangka atas kasus dugaan pencemaran nama baik. Ehmm, berikut ini opini sedarhana saya sebagai member warung kopi, sekaligus penikmat sedikit teori konspirasi. “Sedikit” lo ya.
Jerinx kini terancam hukuman penjara selama enam tahun, dengan denda Rp 1 miliar, begitulah yang Humas Polda Bali, Kombes Pol Syamsi tegaskan. Dirinya menerangkan jika Jerinx terjerat Pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP, sesuai dengan laporan polisi bernomor LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, pada tanggal 16 Juni 2020.
Yang melaporkan Jerinx bukanlah personal namun IDI Bali atau Ikatan Dokter Indonesia di Bali. Waduh dokter se-Bali Raya melaporkan Jerinx? Yang pasti IDI adalah lembaga lo ya. Setelah baca artikel saya ini, coba nanti silahkan baca soal kasus pelaporan dengan pencemaran nama baik juga, apa bisa hanya institusi yang melaporkan personal dalam kasus pencemaran nama baik? Silahkan baca di sini.
Mari kita lanjutkan. Begini, meskipun awalnya saya juga kesal dengan Si Jerinx yang sering terperamen dan meledak-ledak, tapi setelah saya pikir-pikir kok ya beliau ini ada benarnya juga.
Tentang Jerinx, saya rasa ada suara yang benar (meskipun terdengar berat) namun yang saya lihat ketika berjuang selain memperjuangkan bisnisnya sendiri lo ya. Jadi, saya tidak setuju tentang konspirasi global elite global, bagi saya itu adalah bullshit man!
Begitupun Jerinx yang pada akhirnya dipenjara karena celotehan “Gara-gara bangga jadi kacung who, IDI dan rumah sakit dengan seenaknya mewajibkan semua orang yang melahirkan tes Covid-19”.
Pada akhirnya, saya acuh dengan Jerinx yang dijebloskan ke penjara. Saya pun tak peduli dan bodo amat! Apa saya egois? Bolehkan bilang seperti itu, bebas Bung!
Kini, saya hanya egois dan hanya melihat di daerah saya sendiri, tentang bagaimana orang yang akan mencari pekerjaan, tentang bagaimana pedagang siomay langganan yang akan berangkat dan berjualan di tanah rantau.
Halo? Apakah pemerintah memikirkan “wong cilik” semacam itu? Saya yakin dan saya selalu positive thinking “Ya pemerintah memikirkan”, karena bukannya sudah kewajiban pemerintah menyejahterakan rakyatnya?
Kalau tidak percaya coba tengok Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, bunyinya begini, Tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Berdasarkan ayat tersebut sudah jelas Undang-Undang mengatur dan jaminan bagi semua warga agar mendapatkan pekerjaan dan mendapatkan kehidupan yang layak sebagai manusia.
Jadi ketika ada yang teriak minta keadilan, pikirkan lagi apakah ada yang salah dengan negara atau memang sang peminta keadilan belum melakukan apa-apa. Bagian ini adalah terserah, saya malas debat kusir, berdebat saja dengan ego dan diri masing-masing, oke?
Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak bagi “Wong Cilik”
Namun sampai di sini, saya makin yakin jika urusan Jerinx bukan lagi urusan saya. Urusan saya adalah menuliskan secara jelas atas judul artikel ini, yaitu bagaimana tentang pekerjaan dan penghidupan yang layak untuk mereka para pedagang yang berjualan di luar daerah. Misalnya di luar Jawa, atau bisa jadi di Ibukota (masih Jakarta).
Pemerintah sangat peduli dengan rakyat, dan saya sampai saat ini masih sangat mengapresiasi hal tersubut. Bukannya pemerintah sudah repot-repot mengeluarkan bantuan? Eh, namun nyatanya? Apakah bantuan tersalurkan? Apakah pemerintah di bawah Jokowi telah memonitor distribusinya dengan baik?
Saya jadi ingat pidato Pak Jokowi yang mencak-mencak dan sempat ramai menjadi meme. Tapi, apakah darah tinggi Pak Jokowi itu berfungsi, dan apakah itu didengar orang-orang di bawahnya?
Buktinya, tidak ada gerakan sama sekali yang jelas, yaitu terkait ketaatan yang dilaksanakan oleh para menteri dan orang-orang di bawah Jokowi. Saya hanya berandai-andai, apakah Pak Jokowi mendengar suara dari dalam goa, disaat beliau hanya berbalut laporan bagus dari dalam istana.
Andai-andai saya kemudian melemparkan pikiran saya pada lagu Iwan Fals yang berjudul Manusia Setengah Dewa. “Urus saja moralmu urus saja ahlakmu peraturan yang sehat yang kami mau”, menurut saya itu lirik yang seharusnya diputar di waktu pagi setelah lagu Indonesia raya. Tidak setuju? Saya putar sendiri!
Baik, kembali lagi ke bantuan pemerintah. Apakah bantuan pemerintah hanya cukup dengan semabako?
Bisa jadi cukup dengan sembako, tapi dengan syarat dan ketentuan yang berlaku, katakanlah penerima bantuan hanya hidup berdua. Anggaplah si A punya 5 anak, dan si B masih jomblo (seperti saya). Bagi si B mungkin akan cukup untuk makan beberapa hari, terus buat si A?
Belum lagi nasib anak kos seperti saya yang yang tidak pernah tercatat di RT sebagai warga. Boro-boro bantuan sembako pemerintah, daging kurban dari warga saja harus menunggu kebaikan ibu kos.
Selain itu, bagaimana dengan nasib pedagang siomay yang belum jelas. Kepada siapa lagi ia mengeluh? Tetangga? Sedangkan dengan tetangga saja belum tentu akur. Apakah harus meminta terhadap pak Lurah yang dulunya sempat terjadi gesekan di waktu pemilihan?
Sungguh saya jadi tidak tega dengan Jerinx yang tidak didengarkan dengan baik. Itu saja. Bukan hate speech, bukan apa apa. Tetap semangat saja bagi Jerinx dan para pendukungnya.
Namun, saya hanya egosi dan memikirkan nasib pedagang somay yang belum berangkat karena mahalnya biaya rapid test. Katanya murah, eh tapi masih berkisar 300 ribu bahkan sampai 1 juta, sedang banyak orang yang paranoid buat jajan somay di tengah pandemi.
Mohon maaf, jika tulisan ini acak-acakan. Hanya saja tulisan ini berdasarkan bahan yang saya dengar dari warung kopi di dekat pangkalan ojek. Selebihnya, adalah andai-andai saya yang nyudul langit, HA HA HA…
Selain opini mengenai siratan dari Jerinx dan nasib pedadang di desa saat pendemi Covid-19, baca juga hal-hal unik dan menarik lainnya, hanya di Konten Serba-Serbi Djawanews.