Djawanews – Tidak seperti arabika atau robusta, “kopi pangku” bukanlah cita rasa dari kopi itu sendiri, melainkan cita rasa menikmati kopi sambil memangku seorang wanita.
Eksistensi kopi pangku sendiri sudah menjadi rahasia umum, tidak jarang berbagai ormas menentangnya dengan dalil moralitas. Meskipun identik dengan praktik prostitusi, kopi pangku adalah cerminan kebudayaan masyarakat pinggiran untuk mencari hiburan.
Kopi pangku sendiri umum bagi masyarakat kelas bawah yang mengenal dunia malam, dengan lokasi yang tersebar dan memiliki ciri khas masing-masing.
Beberapa lokasi kedai kopi pangku remang-remang di Jawa tersebar di wilayah Pantai Utara Jawa yang menjadi jalur ekspedisi darat, pelanggannya kebanyakan adalah para supir truk yang sekadar ingin mencari kehangatan.
Kendati demikian, ada beberapa lokasi kopi pangku yang tidak memiliki kedai. Para penjual akan langsung menjajakan dagangannya, biasa di tempat-tempat persinggahan seperti pelabuhan.
Pelabuhan Sunda Kelapa di Jakarta Utara salah satunya. Ketika malam selepas waktu Isya, akan banyak puluhan wanita-wanita berumur 30-an tahun ke atas menenteng termos dan beberapa saset kopi instan.
Dengan dandanan menor, para penjual kopi tersebut tidak malu-malu melayani para pembelinya yang kebanyakan para sopir yang menunggu bongkar muat. Jika umumnya kopi instan dijual Rp5 ribuan, di Sunda Kelapa harganya akan lebih dari Rp20 ribuan.
Menariknya, jika saling cocok antara pelanggan dan penjual kopi dapat melanjutkan hubungan yang lebih intim dengan tarif murah mulai dari Rp100 ribuan.
Tidak berarti membela eksistensi kopi pangku, namun transaksi semacam itu adalah hal yang wajar ketika motif ekomoni adalah alasannya. Kopi pangku sendiri memiliki ciri khas masing-masing sesuai dengan daerahnya. Ingin mencobanya?
Selain pembahasan mengenai kopi pangku, baca juga hal-hal unik dan menarik lainnya, hanya di Konten Serba-Serbi Djawanews.