Djawanews.com – Akhir-akhir ini dunia dihebohkan dengan pernikahan beda agama Jennifer Katherine Gates, putri dari miliarder asal Amerika Bill Gates dengan Nayel Nassar. Apakah hal tersebut perlu disoroti lebih dalam? Pernikahan beda agama di dunia barat bukanlah hal yang terlalu penting dan tidak mendapat sorotan yang berlebihan seperti di Indonesia. Selain karena banyak negara barat yang menerapkan paham sekularisme, orang-orang di negara barat lebih mementingkan cinta dan harta ketimbang agama untuk pertimbangan menikah. Membicarakan Indonesia yang memiliki system masyarakat yang majemuk dalam hal beragama. Masyarakat jadi sering membicarakan soal pernikahan beda agama yang di Indonesia sendiri dianggap tabu. Masing-masing agama mempunyai hukum tersendiri soal pernikahan. Berikut hukum pernikahan beda agama di setiap agama yang ada di Indonesia. 1. Islam Dalam Alquran dengan tegas dilarang perkawinan antara orang Islam dengan orang musyrik seperti yang tertulis dalam Al-Quran yang berbunyi : “Janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hati. Dan janganlah kamu menikahkan orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik daripada orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. (Al-Baqarah [2]:221) Larangan perkawinan dalam surat al-Baqarah ayat 221 itu berlaku bagi laki-laki maupun wanita yang beragama Islam untuk menikah dengan orang-orang yang tidak beragama Islam. 2. Katolik Gereja Katolik memandang bahwa perkawinan antara seorang beragama Katolik dengan yang bukan agama Katolik bukanlah bentuk perkawinan yang ideal. Karena, perkawinan dianggap sebagai sebuah sakramen (sesuatu yang kudus, yang suci). Menurut Hukum Kanon Gereja Katolik, ada sejumlah halangan yang membuat tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan. Misalnya, adanya ikatan nikah (kanon 1085), adanya tekanan/paksaan baik secara fisik, psikis maupun sosial/komunal (kanon 1089 dan 1103), dan juga karena perbedaan gereja (kanon 1124) maupun agama (kanon 1086). Namun demikian, sebagaimana disebut dalam Hukum Kanonik, perkawinan karena perbedaan agama ini baru dapat dilakukan kalau ada dispensasi dari Ordinaris Wilayah atau Keuskupan (Kanon 1124). Sehingga kalau ada perkawinan antar agama (dan salah satu pihak adalah Katolik), dan tidak dilakukan menurut agama Katolik, maka perkawinan itu dianggap belum sah. 3. Kristen Pada umumnya pernikahan beda agama tidak dikehendaki di dalam Perjanjian Lama. Alasannya adalah kekuatiran bahwa kepercayaan kepada Tuhan akan dipengaruhi ibadah asing dari pasangan yang tidak seiman (Ezr. 9-10; Neh. 13:23-29; Mal. 2:10). Larangan yang eksplisit terdapat dalam Ul. 7:3-4 “Janganlah juga engkau kawin-mengawin dengan mereka: anakmu perempuan janganlah kauberikan kepada anak laki-laki mereka, ataupun anak perempuan mereka jangan kauambil bagi anakmu laki-laki; sebab mereka akan membuat anakmu laki-laki menyimpang dari pada-Ku, sehingga mereka beribadah kepada allah lain. Maka murka TUHAN akan bangkit terhadap kamu dan Ia akan memunahkan engkau dengan segera.” Dalam Perjanjian Baru 2 Korintus 6:14-15 juga dijelaskan hukum terkait pernikahan beda agama. “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap? Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya?” 4. Hindu Dalam agama Hindu di Bali istilah perkawinan biasa disebut Pawiwahan. Wiwaha atau perkawinan dalam masyarakat hindu memiliki kedudukan dan arti yang sangat penting, dalam catur asrama wiwaha termasuk ke dalam Grenhastha Asrama. Disamping itu dalam agama Hindu, wiwaha dipandang sebagai sesuatu yang maha mulia, seperti dijelaskan dalam kitab Manawa Dharmasastra bahwa wiwaha tersebut bersifat sakral yang hukumnya wajib. Adapun syarat-syarat wiwaha dalam agama Hindu adalah: · Perkawinan dikatakan sah apabila dilakukan menurut ketentuan hukum Hindu. · Pengesahan perkawinan harus dilakukan oleh pendeta/rohaniawan atau pejabat agama yang memenuhi syarat untuk melakukan perbuatan itu. · Suatu perkawinan dikatakan sah apabila kedua calon mempelai telah menganut agama hindu. · Berdasarkan tradisi yang berlaku di Bali, perkawinan dikatakan sah setelah melaksanakan upacara byakala/biakaonan sebagai rangkaian upacara wiwaha. 5. Buddha Perkawinan antar agama di mana salah seorang calon mempelai tidak beragama Budha, menurut keputusan Sangha Agung Indonesia diperbolehkan, asal pengesahan perkawinannya dilakukan menurut cara agama Budha. Dalam hal ini calon mempelai yang tidak beragama Budha, tidak diharuskan untuk masuk agama Budha terlebih dahulu. Akan tetapi dalam upacara ritual perkawinan, kedua mempelai diwajibkan mengucapkan “atas nama Sang Budha, Dharma dan Sangka”. 6. Khonghucu Dalam ajaran agama Khonghucu perkawinan adalah, ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga yang bahagia), dan melangsungkan keturunan berdasarkan perintah Ketuhanan Yang Maha Esa. Adapun syarat-syarat perkawinan bagi umat Konghucu yang terkait masalah beda agama: · Ada persetujuan dari kedua mempelai tanpa ada unsur paksaan. · Kedua calon mempelai wajib melaksanakan pengakuan iman. Peneguhannya dilaksanakan di tempat ibadah umat Konghucu (Lithang). · Mendapat persetujuan dari kedua orang tua, baik orang tua pihak laki-laki maupun pihak perempuan atau walinya. · Disaksikan oleh dua orang saksi. Ingin tahu informasi menarik seputar percintaan lainnya? Pantau terus Djawanews dan ikuti akun Instagram milik Djawanews |