Djawanews.com – Stres oksidatif menyebabkan radikal bebas dan antioksidan dalam tubuh tidak seimbang. Efeknya menyebabkan kerusakan sel dan jaringan tubuh. Itulah sebabnya jika stres oksidatif dialami jangka panjang, berkontribusi pada perkembangan kondisi kronis seperti kanker, jantung, dan diabetes.
Selama proses metabolisme, tubuh menghasilkan radikal bebas. Selain itu juga menghasilkan antioksidan untuk menetralisir radikal bebas tersebut. Sehingga keseimbangan antara antioksidan dan radikal bebas menentukan kesehatan secara keseluruhan. Stres oksidatif dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain diet, gaya hidup, kondisi tertentu pada kesehatan, faktor lingkungan seperti polusi dan radiasi.
Dilansir Medical News Today, respons imun alami ketika melawan infeksi juga menyebabkan peradangan atau salah satu jenis stres oksidatif. Ketika melawan infeksi, stres oksidatif bersifat sementara. Setelah sembuh, sistem kekebalan akan memperbaiki sel atau memperbaiki cedera. Tetapi apabila stres oksidatif tidak terkontrol, proses penuaan akan terjadi lebih cepat.
Radikal bebas yang dikeluarkan selama proses metabolisme antara lain superoksida, radikal hidroksil, dan radikal oksida nitrat. Zat dari luar juga memicu tubuh mengembangkan radikal bebas, seperti asap rokok, pestisida, dan ozon.
Sedangkan antioksidan adalah zat-zat yang menetralkan atau menghilangkan radikal bebas dengan menggelontorkan elektron. Efek antioksidan bersifat menetralkan, dan kandungan yang disebut antioksidan termasuk vitamin A, C, dan E. Antioksidan yang diciptakan oleh sel disebut dengan glutathione.
Oleh karena itu, diet juga diperlukan untuk mendapatkan antioksidan cukup bagi tubuh. Makanan yang mengandung antioksidan antara lain sayuran dan buah-buahan yang kaya akan vitamin mineral.
Tidak semua stres oksidatif berbahaya. Misalnya stres oksidatif karena aktivitas fisik, sebab bisa menyumbang efek regulasi dan menguntungkan tubuh. Sebuah studi tahun 2015, para ilmuwan membuktikan bahwa stres oksidatif sementara bisa membatasi penyebaran sel kanker melanoma pada tikus.
Namun stres oksidatif jangka panjang bisa merusak sel-sel tubuh, protein, dan DNA. Stres jenis ini juga menyebabkan peradangan yang pada gilirannya menghasilkan lebih banyak radikal bebas. Peradangan kronis juga dapat menyebabkan beberapa kondisi, termasuk radang sendi, penyakit kardiovaskular, dan diabetes.
Stres oksidatif juga memengaruhi otak. Studi tahun 2018, otak menyerap 20 total oksigen dalam tubuh. Sel otak menggunakannya untuk aktivitas metabolisme intensif dalam menghasilkan radikal bebas. Radikal bebas ini membantu pertumbuhan sel otak, neuroplastisitas, dan fungsi kognitif. Tetapi ketika mengalami stres oksidatif, radikal bebas lebih dapat merusak struktus dalam sel otak sehingga berpotensi meningkatkan risiko penyakit Parkinson.
Untuk mencegah mengalami stres oksidatif, memperbaiki gaya hidup menjadi lebih sehat adalah langkah pertama. Seperti dengan mengubah menu makan menjadi lebih seimbang dan lebih kaya buah sayuran. Ditambah olahraga teratur juga membantu membangun kehidupan sehat. Selain itu, berhenti merokok, mengelola stres, menghindari terpapar polusi, dan pertahankan berat badan sehat.