Selain harta gono gini, masalah yang sering dihadapi oleh pasangan setelah bercerai adalah mengenai hak asuh. Perebutan hak asuh seringkali di sertai dengan tudingan bahwa pihak mantan pasangan tidak becus mengusu anak.
Perlu diketahui, hak asuh setelah perceraian tidak diatur secara khusus baik dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Peraturan Pemerintan Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU Perkawinan.
Penyebab Ibu Kehilangan Hak Asuh Anak Setelah Perceraian
Adapun ketentuan mengenai hak asuh secara jelas termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagaimana dalam Pasal 105 yaitu sebagai berikut:
Dalam hal terjadinya perceraian :
- Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya;
- Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaanya;
- Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Namun perlu diketahui jika hak asuh terhadap ibu bisa saja dicabut jika ibu melanggar beberapa aturan yang ada. Apa saja? Berikut ulasannya.
- Perilaku Ibu dianggap Tidak Terpuji
Yang pertama adalah perilaku ibu dianggap tidak terpuji. Misalkan ibu sering mabuk-mabukan, judi atau sering selingkuh dengan lelaki lain. Jika hal ini terjadi, maka hak asuh bisa saja diberikan ke ayah.
- Melalaikan Kewajiban dalam Mengurus Anak
Melalaikan kewajiban dalam mengurus anak juga dapat membuat ibu kehilangan hak asuh anak. Sebab dalam mengurus anak penilaian integritas sangatlah utama. Karena hal ini pun sudah diatur dalam Undang-Undang pada putusan Kasasi Nomor: 456K/AG/2004 tanggal 26 Januari 2004.
- Aktifitas Ibu Yang Dinilai Sangat Tinggi
Dalam putusan MahkamahAgung RI Nomor 349K/AG/2006tanggal 3 Januari 2007, hakim menetapkan ayah sebagai pemegang hak hadhanah. Pertimbangannya adalah karena sang ibu memiliki aktifitas yang cukup tinggi.
Selain hal di atas Majelis Hakim memutuskan hak asuh anak diberikan kepada bapak (Pemohon). Putusan tersebut diberikan dengan alasan-alasan Ibu (Termohon) dari anak-anak tersebut:
- Tidak amanah
- Tidak dapat menjaga pertumbuhan, pendidikan dan kenyamanan anak-anak;
- Tidak mampu menjaga kemaslahatan dan kepentingan anak-anak.
Umumnya yang menjadi pertimbangan utama dalam menentukan pihak yang pantas untuk memperoleh hak asuh anak semata-mata ditujukan untuk kepentingan dan kebaikan anak-anak.
Bukan untuk kepentingan orang tua atau pihak lain, sehingga terjamin hak-hak anak dapat tumbuh dan berkembang baik secara fisik maupun psikis.