Djawanews.com – Dunia kuliner berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat dengan hadir aneka macam hidangan baru yang dipamerkan para prosuden kepada konsumen di media sosial. Namun beberapa bahan makanan sudah terbilang langka bahkan hampir punah. Hal ini diperparah lagi dengan pergerakan tradisi yang dinamis, menyebabkan makanan tradisional di bawah ini semaikin sulit didapatkan.
- Murnong
Murnong adalah ubi daisy, yang merupakan bahan utama makanan suku Aborigin di seluruh wilayah yang sekarang menjadi bagian Tenggara Australia. Akar ini mirip lobak, seringkali bunganya berwarna kuning lebat menyerupai dandelion. Teksturnya berair dan bergizi, murnong menyediakan makanan sepanjang tahun selama ribuan tahun bagi masyarakat Aborigin karena bisa dimakan mentah maupun dimasak.
Pada tahun 1860-an, akar umbi murnong hampir punah. Saat ini, dilansir Smithsonian Magazine, akar murnong kembali muncul secara perlahan. Tanaman ini juga telah menjadi bahan makanan restoran modern di Australia.
- Kacang merah Geechee
Kacang merah Geechee ini tumbuh di wilayah pesisir Atlantik, Amerika Selatan, termasuk kepulauan Sapelo. Habitatnya dari Afrika Barat dan Tengah, tumbuh di Amerika dibawa pekerja di perkebunan lokal. Karena perkebunan yang digarap ini terpencil, maka para pekerja perlu mempertahankan tradisi masyarakatnya. Maka pertanian berkelanjutan dengan menanam kacang merah Geechee dilakukan. Penting diketahui, tanaman kacang bisa mengembalikan atau menambahkan nitrogen tanah. Artinya, disela tanaman kebun, pekerja menanam kacang merah ini.
Tanaman yang termasuk kacang-kacangan ini, mengeluarkan buah di dalam tanah berwarna rubi. Rasanya cukup kaya namun tradisi menanam ini terancam punah. Don Saladino, jurnalis makanan dan presenter “The Food Programme” BBC Radio 4, menemukan kacang merah Geechee di festival Slow Food, Turin, Italia.
- Skerpikjøt
Skerpikjøt sejenis daging dari paha domba yang dikeringkan dan difermentasi. Makanan ini termasuk makanan lokal di Kepulauan Faroe, utara Samudera Atlantik. Karena sulit mengakses kayu bakar, maka penduduk setempat harus mencari cara dalam mengolah daging. Hasilnya, daging diolah dan disebut Skerpikjøt. Meski terancam punah karena pertumbuhan ekonomi berkelanjutan di negara ini, maka tidak hanya daging domba saat ini yang diolah. Daging lainnya, termasuk ayam, babi, dan daging sapi dikirim dari luar negeri untuk diolah menjadi Skerpikjøt.
Proses pembuatan membutuhkan waktu 5-6 bulan. Daging yang siap diolah diletakkan dalam gudang kayu yang dibangun khusus. Sisi-sisinya terdiri dari bilah vertikal yang memberikan ruang bagi angin masuk. Karena terletak di tepi laut yang membawa udara asin garam, maka ‘bangkai’ berfermentasi dan mulai ‘membusuk’. Pembusukan terkendali ini yang memberikan rasa tajam dan bau menyengat. Setelah fermentasi melambat dan daging menjadi lebih kering dan kencang, rasanya juga melunak. Pada tahap ini, sudah siap untuk disantap.
- Shio-katsuo
Dilihat dari namanya, Anda pasti bisa menebak makanan ini berasal dari mana. Shio-katsuo dari Nishiizu, Jepang. Berbahan ikan cakalang yang diasinkan dan dikeringkan. Saat ini, shio-katsuo hanya hidup di dalam dan sekitar Nishiizu, sebuah kota nelayan di Semenanjung Izu Jepang. Karena digunakan sebagai persembahan kepada dewa Sinto, persiapannya memerlukan keahlian yang cermat dan cermat. Faktanya, penduduk Nishiizu, Yasuhisa Serizawa, adalah produsen shio-katsuo terakhir yang masih hidup.
Proses pengasinan dilakukan lebih dari dua minggu. Kemudian disimpan dalam tumpukan batang padi yang dijahit dengan penuh keterampilan. Setelah ikan ini siap dan dipakai untuk upacara persembahan, kemudian bisa dimakan dengan diiris tipis atau dibuat menjadi serpihan yang ditaburkan di atas nasi hangat ataupun hidangan sayur. Rasa dari shio-katsuo umami meskipun hanya sedikit yang ditaburkan. Ini berarti, ikan kering ini mengubah cita rasa hidangan apapun.
- Teh Pu-Erh dari hutan kuno Tiongkok
Pu-Erh adalah teh langka yang difermentasi, dan pembuatannya dari daun teh liar yang tumbuh di daerah pegunungan terpencil, Provinsi Yunnan, barat daya Tiongkok. Prosesnya memerlukan proses yang panjang dan rumit. Pertama, dauh teh dijemur hingga layu dan berwarna gelap. Lalu dimasak di atas api panas untuk mencegah oksidasi penuh. Kemudian digulung serta diremas untuk menghilangkan kelembapan. Daunnya lalu dibentuk menjadi lebih padat lalu difermentasi selama berbulan-bulan kadang menahun.
Kepunahan teh ini, menurut cerita Saladino, ditutupi sejarah akibat dampak pasca-Mao. Pada masa itu banyak kehancuran termasuk industri karet yang kemudian mengeksploitasi teh Pu-Erh secara berlebihan.