Djawanews.com – Rusia mulai merasakan dampak sanksi yang diberikan Amerika Serikat (AS) dan sejumlah negara lainnya usai serangan ke Ukraina. Hal ini dibuktikan dengan kejatuhan mata uang ruble dan juga kenaikan suku bunga yang tinggi.
Menngutip CNBC Indonesia, pada perdagangan Senin (28/1) waktu setempat, mata uang ruble terus tergerus bila dibandingkan dengan dollar Amerika Serikat (AS). Bahkan, ruble dilaporkan ambruk hingga 30% terhadap dollar dan secara year-on-year (yoy), ditutup dengan pelemahan hingga 28% terhadap dollar.
Hal ini pun mulai membuat Bank Sentral Rusia mengambil langkah-langkah untuk menstabilkan nilai ruble. Terbaru, bank sentral mengumumkan akan menggandakan lebih dari dua kali lipat suku bunga utamanya dari 9,5% menjadi 20%.
Selain itu, Gubernur Bank Sentral Rusia, Elvira Nabiullina, juga akan melakukan kontrol modal untuk membatasi uang yang keluar dari negara itu. Kontrol modal sendiri dilakukan dengan menahan perusahaan asing untuk melakukan divestasi.
"Ini adalah manuver penuh yang sudah berlangsung," ujar pakar ekonomi Rusia dari Foreign Policy Research Institute, Maximilian Hess, mengatakan kepada CNBC International dikutip Selasa 1 Maret.
"Efektif jam 4 pagi ini, diumumkan pada tengah malam, bank sentral Rusia telah melakukan kontrol modal juga. Jadi itu menghentikannya agar tidak seburuk yang seharusnya."
Meski begitu, Hess menambahkan bahwa efek-efek ini akan terus-menerus menjadi semakin parah. Ia menyebut langkah-langkah yang diambil bank sentral Rusia ini tidak akan mampu menahan kejatuhan mata uang itu karena negara-negara Barat juga telah membekukan operasional bank Rusia yang menggunakan platform keuangan global, SWIFT.
"Tapi perlahan-lahan akan ditemukan cara untuk menyiasati kontrol itu. Kontrol kemungkinan akan tetap ada, tetapi yang mereka lakukan hanyalah menunda rasa sakit untuk sementara," tambahnya.
Sementara itu, efek dari sanksi keuangan ini juga dirasakan langsung oleh masyarakat Rusia. Terlihat antrean panjang sudah mulai mengular di beberapa ATM untuk melayani warga yang menginginkan uang tunai.
"Kami telah mengalami aliran uang yang signifikan dalam waktu yang sangat singkat," sebut Sberbank Europe, yang dimiliki oleh grup keuangan Rusia, Sberbank.
Sberbank sendiri telah mengalami kejatuhan nilai saham hingga 70% di bursa London. Perusahaan Rusia lainnya seperti Raksasa gas Gazprom juga mengalami anjlok hingga 37%. Di New York, saham penyedia layanan internet Yandex dan tujuh perusahaan Rusia lainnya ditangguhkan dari perdaganganNasdaq.
Negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat (AS) sendiri terus menerus menghujani sanksi terhadap Moskow setelah negara itu melakukan serangan militer ke Ukraina. Tak hanya dalam industri keuangan, Barat juga menutup wilayah udara Uni Eropa (UE) untuk pesawat-pesawat Rusia serta menyita aset-aset milik warga Rusia yang dekat dengan Presiden Vladimir Putin.