Belum lama ini, anggota komisi VI DPR RI dari fraksi PKS meminta pemerintah untuk melegalkan ekspor ganja karena memiliki nilai ekonomi yang besar.
Permintaan tersebut disampaikan Rafli dalam rapat bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto membahas perjanjian dagang ASEAN dengan Jepang.
Ia menilai, ganja dapat dimanfaatkan sebagai obat. Terlebih lagi, ganja dapat tumbuh subur di tanah Aceh.
“Misalnya ganja ini, entah untuk kebutuhan farmasi atau apa, jangan kaku lah kita harus dinamis. Ganja ini mudah tumbuh di Aceh. Saya rasa ganja harus jadi komoditas ekspor yang bagus,” ujar Rafli melansir Detik.com, Kamis (30/1/2020).
Potensi bisnis ganja legal
Sebagai informasi, pelegalan ganja di dunia pertama kali dilakukan oleh Uruguay pada 10 Desember 2013. Meski begitu, belum diketahui secara pasti berapa nilai perputaran ekonomi dari hasil pelegalan ganja di negara Amerika Selatan itu, melansir CNN Indonesia.
Di Uruguay, ganja boleh diperjualbelikan dengan catatan, pembeli harus warga negara asli dengan usia minimal 18 tahun dan mendapat izin dari pihak berwenang.
Tak hanya itu, mereka juga melegalkan ganja dijual di apotek pada 2017. Saat itu harga ganja dibanderol 1,3 dolar per gram.
Negara selanjutnya yang melegalkan ganja adalah Kanada. Yang menarik, kanada melakukan proyeksi ekonomi terlebih dahulu sebelum benar-benar melegalkan ganja.
Menurut perkiraan mereka, bisnis ganja legal dapat menumbuhkan ekonomi hingga 1,1 miliar dolar AS atau senilai Rp 15,4 triliun (jika satu dolar AS dihargai Rp 14 ribu).
Bahkan, penerimaan pajak penghasilan yang akan didapat pemerintah diproyeksikan dapat tembus hingga 400 juta dolar AS.
Saat kebijakan ini direalisasikan, industri ganja di Kanada semakin berkembang pesat, mereka disebut memiliki perusahaan raksasa ganja yakni Titray dan Tweed.
Beralih ke Inggris, negara ini mulai melegalkan ganja pada November 2018. Dalam setahun, produksi ganja Inggris dapat mencapai 95 ton.
Menurut laporan Institut of Economic Affair, bisnis ganja sebelum dilegalkan di Inggris mencapai 2,6 miliar pondsterling per tahun atau senilai Rp 46,8 triliun (dengan catatan 1 poundsterling setara dengan Rp 18 ribu).