Djawanews.com – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam beberapa kesempatan selalu mengingatkan bahwa keadaan ekonomi global sedang dalam keadaan sulit. Ekonomi dunia terancam mengalami krisis dan bisa membahayakan pemulihan ekonomi Indonesia pasca pandemi COVID-19.
"Tahun ini sulit dan tahun depan sekali lagi saya sampaikan akan gelap, dan kita tidak tahu badai besarnya seperti apa sekuat apa tidak bisa dikalkulasi," kata Jokowi saat Pengarahan Presiden kepada seluruh Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam dan Kapolda di JCC, Jakarta, dikutip Minggu 23 Oktober.
Hal senada juga disampaikan Menteri Keuangan Sri Mulyani belum lama ini di depan para CEO dunia dalam Bloomberg CEO Forum, Jumat (11/11/2022) bahwa situasi saat ini layaknya perfect storm atau badai besar.
Perfect storm yang dimaksud adalah pandemi COVID-19 yang belum usai, perang Rusia-Ukraina yang menciptakan gangguan pasokan yang lebih kompleks, menciptakan inflasi tinggi terutama pada komoditas makanan, pupuk, dan energi.
Inflasi yang tinggi membuat bank sentral di banyak negara harus mengambil langkah kebijakan moneter untuk meresponnya.
"Kompleksitas itu lah yang ada di dalamnya, semua negara termasuk Indonesia dalam hal ini, dengan situasi di mana ruang kebijakan mengetat, baik fiskal dan moneter," jelas Sri Mulyani dalam Bloomberg CEO Forum: Moving Forward Together, dikutip Senin 14 November.
Ketika inflasi tinggi, maka suku bunga akan dikerek naik. Namun hal ini membawa risiko yakni pasar tenaga kerja akan melemah dan tingkat pengangguran meningkat.
Sebaliknya, saat tingkat pengangguran tinggi, yang dibutuhkan adalah suku bunga rendah. Tetapi resikonya inflasi akan meningkat.
Sekarang banyak negara maju yang juga menjadi negara tujuan ekspor Indonesia ekonominya melambat. Sebut saja Eropa, China, dan Amerika Serikat.
Hal ini mengurangi permintaan ekspor dari negara-negara berkembang, yang sudah terpukul keras oleh harga pangan dan energi yang tinggi.
Adapun, resesi akan berdampak pada tingkat pengangguran yang semakin tinggi tetapi tingkat inflasi rendah. Sebab, ketika banyak warga yang menganggur, konsumsi rumah tangga akan menurun dan demand pull inflation pun rendah.
Badai pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri di Tanah Air terus berlanjut hingga memicu kekhawatiran stagflasi mulai mendekati Indonesia. Gelombang PHK massal ini bermula dari penurunan permintaan di pasar ekspor, bahkan sampai 50%.
Jumlah PHK di sektor padat karya dilaporkan mencapai lebih dari 70.000 orang saat ini. Berawal dari dirumahkan, hingga karyawan kontrak tak lagi diperpanjang masa kontraknya, juga PHK karyawan tetap.
Sementara itu, Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziah mengatakan, kasus PHK di Indonesia sepanjang tahun 2021 mencapai 127.085 orang, turun signifikan dibandingkan tahun 2020 yang mencapai 386.877 orang. Dan, di tahun 2019 tercatat ada 18.911 orang terkena PHK.
"Sepanjang Januari-September 2022, jumlah kasus PHK tercatat 10.765 orang," kata Menaker saat rapat dengan Komisi IX DPR, dikutip Kamis 10 November.
Merespons data Kemenaker itu, Ketua Umum Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, data yang disebutkan Menaker adalah hanya untuk pekerja tetap.
Sementara ada banyak pekerja bukan tetap yang menjadi korban PHK.
"10 ribu itu (data Kemenaker) PHK karyawan tetap. Banyak yang karyawan kontrak di-terminate kontraknya, ini tidak termasuk data PHK-nya Kemenaker (Kementerian Ketenagakerjaan)," kata Redma.