Djawanews.com—Gubernur Provinsi Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil mengaku sulit menangani penyebaran Covid-19 karena keadaan tidak pernah ada keadaan seperti ini sebelumnya. Selain itu yang menjadi masalah adalah sulitnya mencari dana untuk mencukupi kebutuhan masyarakat selama karantina pandemi Covid-19.
Peningkatan Persentase Kebutuhan Bansos dan Dana yang Kecil
Ridwan Kamil dalam sebuah konferensi pers virtual Kemendag Peduli, Jumat (8/5/2020), mengatakan bahwa penanganan Covid-19 merupakan tantangan bagi para pemimpin daerah karena tidak adanya percontohan tindakan para pemimpin terdahulu dalam menghadapi keadaan seperti sekarang.
“Tidak mudah bagi kami para pemimpin yang mengambil keputusan. Karena tidak ada contohnya pada kondisi seperti ini. Jadi setiap hari adalah eksperimen keputusan. Kadang berhasil, kadang ada dinamika, kadang gagal,” kata Ridwan Kamil.
Kang Emil juga Covid-19 menyebabkan persentasi masyarakat yang membutuhkan uluran tangan pemerintah. Sebelum Covid-19 hanya 25% masyarakat yang membutuhkan bansos, kini 65% atau 38 juta jiwa memerlukannya untuk bertahan hidup.
“Sebelum COVID-19, rakyat saya yang disubsidi hanya 25%. Setelah COVID-19 semua ahli berteori mungkin hanya 40% dari kelompok-kelompok yang harus disubsidi, sedangkan mereka yang pendapatannya pas-pasan masih bisa mandiri sehingga tidak tangan di bawah. Ternyata teori itu keliru, di Jabar yang meminta bantuan itu 65%. Jadi bapak bayangkan, 2/3 rakyat kami tangannya di bawah,” ungkapnya.
Jika dibandingkan dengan Korea Selatan yang memiliki populasi hampir sama dengan Jabar, menurut Kang Emil, Jabar memiliki dana yang jauh lebih kecil.
“Tapi Jabar dananya hanya 1% dari duitnya Korea Selatan. Jadi Gubernur Jabar lebih susah dari Presiden Korsel, duitnya cuma 1% tapi yang harus diselamatkan nyawanya sama-sama 50 juta. Nah di sinilah kami harus bereksperimen dengan cara-cara,” ujarnya.
Namun terlepas dari itu, Kang Emil bersyukur bahwa penyebaran Corona di Jabar sedikit berkurang karena kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
“Nah terkait ekonomi PSBB ini kami berlakukan karena ini berhasil secara ilmiah menurunkan kecepatan. Dulu Bodebek kecepatan virus cuma 1,27 di indeks. Barang siapa di atas 1 itu nggak bagus, kalau indeks di bawah 1 artinya virus terkendali kira-kira itu teori kesehatannya. Bodebek sebelum PSBB itu indeksnya 1,27. Setelah PSBB indeks kesehatannya 1,07, itu lumayan kan,” jelasnya.
Hal inilah yang menyebabkan pemerintah Jawa Barat pada Rabu (6/5) kemarin memutuskan semua kabupaten/kota di Jabar pun diberlakukan PSBB.
“Pada saat saat Bandung Raya dan Bodebek setelah PSBB, sisanya 17 kabupaten/kota kan tidak. Ternyata yang tidak PSBB kecepatan penyebaran virusnya malah nyusul dengan yang PSBB. Itulah kenapa mulai Rabu kemarin kami putuskan seluruh wilayah Jabar yang 27 kabupaten/kota dan 50 juta orang kita PSBB-kan,” pungkasnya.
Ikuti juga info-info bisnis terbaru dan menarik lainnya, dari dalam dan luar negeri, yang dibahas Djawanews di sini.