Djawanews.com – Anggota Komisi VI DPR RI Andre Rosiade menyoroti aturan baru dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang melarang social commerce melakukan transaksi jual beli. Pemerintah menganggap kehadiran social commerce seperti TikTok Shop telah merugikan para pedagang konvensional.
Menurut Andre Rosiade, pemerintah harus menciptakan regulasi yang adil bagi pelaku usaha konvensional dan digital. Mengingat, 6 sampai 7 juta pelaku Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) memanfaatkan social commerce sebagai platform penjualan.
"Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam kebijakan larangan bertransaksi di media sosial adalah perlunya keadilan antara pemilik usaha konvensional dan pemilik usaha di ranah digital," kata Andre, Rabu 27 September.
Legislator dari Dapil Sumatera Barat I ini mengingatkan bahwa di era teknologi informasi dan komunikasi yang semakin meresap ke dalam kehidupan sehari-hari, media sosial bukan hanya menjadi platform bagi masyaarakat untuk berinteraksi. Andre menyoroti bagaimana media sosial juga dapat menjadi sarana atau platform bisnis yang vital.
“Banyak pelaku UMKM mengandalkan platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan lainnya untuk mempromosikan produk dan layanan mereka, serta menjalankan transaksi secara online. Ini juga harus dipikirkan seperti apa teknis terbaik dalam proses kelanjutan transaksi jual belinya antara seller dan buyer jika hanya promosi saja yang diperbolehkan,” paparnya.
Revisi Permendag No. 50 Tahun 2020 akan merujuk pada izin social commerce yang bukan platform transaksi jual beli sehingga akan menciptakan sejumlah aturan turunan. Aturan pertama social commerce hanya boleh memfasilitasi promosi barang atau jasa. Kedua social commerce harus memiliki izin sebagai e-Commerce.
Kemudian aturan ketiga membatasi produk impor dengan memisahkan negatif dan positif list. Lalu yang keempat perilaku barang impor dan dalam negeri harus sama. Artinya jika produk makanan harus ada sertifikat halal, begitu juga dengan skincare yang memerlukan jaminan atau seizin BPOM, dan produk elektronik harus memiliki standar.
Serta aturan kelima ialah social commerce tidak boleh bertindak sebagai produsen. Lalu aturan terakhir adalah transaksi impor hanya boleh satu kali dengan minimal USD 100 atau setara Rp 1,5 juta.
Aturan yang disusun tersebut penting mengingat dalam aktivitas perdagangan di social commerce seperti TikTok Shop, barang impor bisa langsung dibeli oleh konsumen Indonesia alias crossborder.
Pelaku usaha digital juga diprotes karena menawarkan harga yang sangat murah di social commerce. Persaingan inilah yang dikhawatirkan mematikan UMKM dalam negeri.
Andre pun berharap aturan turunan dari revisi Permendag No.50 Tahun 2020 dapat membatasi aktivitas penjualan di social commerce yang banyak dikeluhkan pedagang konvensional.
“Dengan larangan berjualan dan bertransaksi, pengusaha akan lebih fokus pada kegiatan promosi. Ini dapat membantu mereka meningkatkan visibilitas dan kesadaran merek mereka di media sosial,” terang Andre.
“Selain itu dalam beberapa kasus, pengusaha dapat menghindari persaingan harga yang sering terjadi di media sosial. Mereka juga dapat lebih fokus pada nilai tambah produk atau layanan mereka daripada hanya menawarkan harga yang lebih rendah,” sambungnya.
Meski begitu, Andre melihat masih ada beberapa aturan yang berpotensi tidak efektif karena melawan arus perkembangan teknologi. Ia menyebut social commerce memberikan pengalaman berbelanja tersendiri bagi konsumen, dan bahkan memunculkan fenomena impulsive buying yang dapat menguntungkan pelaku usaha.
“Kelebihan dan kekurangan dari larangan berjualan dan bertransaksi di media sosial sangat bergantung pada jenis bisnis, pasar target, dan strategi pemasaran yang diterapkan oleh pengusaha. Maka aturan-aturan yang jelas harus segera dibuat,” ungkap Andre.
Lebih lanjut, Andre meminta Pemerintah melakukan sosialisasi yang masif dengan adanya aturan baru mengenai sosial commerce itu agar tidak ada pelanggaran akibat kurangnya edukasi dan literasi pelaku usaha.
Anggota Komisi di DPR yang salah satu tugas kerjanya terkait urusan perdagangan tersebut juga meminta Pemerintah memberikan solusi terhadap pelaku usaha digital dengan adanya aturan baru itu. Apalagi, kata Andre, tak sedikit pelaku usaha yang mengandalkan sosial media dalam berjualan.
“Bisa saja Pemerintah memberikan regulasi tentang mewajibkan kolaborasi social commerce dengan e-commerce sehingga akan memudahkan pelaku usaha digital dalam menjual barang mereka,” imbaunya.
Andre juga meminta Pemerintah untuk tidak lupa memberikan edukasi kepada pelaku usaha konvensional agar mulai memanfaatkan media sosial sebagai sarana promosi barang dagangannya. Dengan begitu, pelaku usaha konvensional di pasar atau toko tidak kalah dengan pelaku usaha digital.
“Ini akan menciptakan keadilan bagi seluruh pelaku usaha baik digital dan konvensional, karena kita ketahui bersama perkembangan teknologi ini harus diimbangi dengan dukungan Pemerintah, baik dari sisi regulasi hingga edukasi agar pelaku usaha memanfaatkan teknologi sebaik mungkin,” pungkas Andre.