Djawanews.com – Teater Garasi adalah sebuah kelompok koletif yang berdiri sejak 4 Desember 1993 di Yogyakarta. Kelompok ini didirikan oleh Yudi Ahmad Tajudin. Teater Garasi dikenal menghasilkan beragam karya teater dan pertunjukan eksperimental yang dipentaskan di dalam dan luar negeri. Sebagai kelompok kolektif, Teater Garasi beranggotakan belasan seniman Indonesia kontemporer. Para anggota Kelompok teater ini, di antaranya Yudi Ahmad Tajudin (sutradara), Gunawan Maryanto (penyair, sutradara), Jompet Kuswidananto (perupa), Ugoran Prasad (pengarang, dramaturg), Risky Sasono (musisi), Naomi Srikandi (sutradara, aktor), Yennu Ariendra (musisi), Sri Qadariatin (aktor/performer), dan Theodorus Christanto (aktor/performer). Melansir dari situs resminya, Teater Garasi adalah sebuah kolektif seniman lintas disiplin yang menjelajahi dan menciptakan berbagai kemungkinan seni pertunjukan sebagai bagian dari upaya memahami dan mementaskan perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat. Sejak tahun 1993, Teater Garasi berdiri di atas kepercayaan dan praktik yang melihat seni pertunjukan sebagai suatu cara untuk mengolah dan memproduksi pengetahuan serta untuk melibatkan diri secara dialektis dengan lingkungan sosial politik. Teater Garasi juga merupakan salah satu penerima anugerah Prince Claus tahun 2013 dari Yayasan Keluarga Kerajaan Belanda (Prince Claus Fund), dengan pertimbangan, antara lain: “Untuk semangat penjelajahan dan karya-karya inovatif yang merangsang seni pertunjukan di Asia Tenggara; … untuk menekankan serta merayakan sifat heterogen masyarakat Indonesia yang kompleks,” tulis Teater Garasi dalam situs webnya, teatergarasi.org. Masa Awal (1993-2001) Teater Garasi mulai mendapat perhatian penonton di tingkat nasional setelah mementas pertunjukan Empat Penggal Kisah Cinta (1997) yang menyegarkan kembali diskusi tentang realisme dan teater. Pada tahun 1998 dan 1999, berturut-turut mereka mementaskan Endgame (Samuel Beckett) dan Les Paravents (Jean Genet) yang membuat banyak kalangan mengira mereka mendukung gaya teater absurd. Di paruh 2000-2001, mereka memulai proses produksi yang dekat dengan bentuk physical-theatre (pertunjukkan yang mengedepankan gerak) dan visual-theater (pertunjukkan yang mengedepankan aspek visual), terutama melalui Repertoir Hujan (2000) dan Waktu Batu (2001). Proses produksi kedua karya inilah yang memengaruhi formulasi Laboratorium Penciptaan Teater. Laboratorium Penciptaan Teater Fase ini ditandai dengan dua serial karya penyutradaraan Yudi Ahmad Tajudin yaitu tiga versi Waktu Batu (2001-2004) dan seri karya yang bersumber budaya pesisir Jawa yakni Je.ja.l.an (2008) dan Tubuh Ketiga (2010). Sepanjang proses Waktu Batu, kelompok ini melakukan penyelidikan berbagai kanon sastra Jawa, naskah sejarah Asia Tenggara, dan juga khasanah pertunjukan di pulau Jawa. Ranah penyelidikan ini membuka keluasan kemungkinan bentuk dan pendekatan pertunjukan yang demikian luas. Terinpirasi oleh gagasan teater Grotowski dan Eugenio Barba, Tajudin mengenali kebutuhan untuk membangun training culture, yaitu pembiasaan, penubuhan, dan penelusuran berbagai disiplin keaktoran secara rutin dan berkesinambungan. Kebutuhan ini disambut baik aktor dan performer Teater Garasi dengan terus mengeksplorasi dan menafsir tari Bali, tari klasik Yogya dan Solo, tari topeng Cirebon, dan pencak silat. Garasi Performance Institute Sejak 2013 mereka mencanangkan diri sebagai performence Institute, yaitu inisiatif kolektif seniman Teater Garasi yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan kreatif yang berkelanjutan bagi seniman pertunjukan di Indonesia dan Asia. Tujuan itu diupayakan melalui penyelenggaraan program-program penyebaran dan pertukaran pengetahuan (knowledge sharing and dissemination), dan seniman-tinggal (artist-in-residence).
|