Djawanews.com – Harry Roesli merupakan seniman serba bisa. Dia bisa memainkan alat musik apapun, komposer hebat, guru musik dan juga pemain teater.
Tak hanya itu, Harry juga kerap melancarkan protes terhadap pemerintah Soeharto melalui musik dan teater.
Hal tersebut dapat anda simak melalui salah satu karyanya yang berjudul Merak. Dalam lagu ini, Harry ingin menyampaikan bahwa meskipun Indonesia adalah negara yang penuh pesona, akan tetapi sejatinya juga banyak noda, seperti halnya burung merak.
Pun demikian dalam lagu Barathayudha, Harry menyoroti tingkah pejabat yang gemar melakukan korupsi.
Berikutnya dalam lagu Jangan Menangis Indoneseia, Harry menyesalkan tidankan represif aparat terhadap peritiwa Malari 1974.
Tak hanya melalui lagu, pementasan teaternya juga penuh dengan kritik. Misalnya, dalam teater Ken Arok, Harry ingin masyarakat tahu bahwa ambisi untuk berkuasa bisa bikin manusia jadi gelap mata dan melakukan segala cara.
Sikap kritisnya itu membuat dia sering kena sensor dan diciduk aparat Orde Baru. Bahkan, pementasan Ken Arok yang digawangi Harry di Semarang pernah diserbu oleh tentara.
Harry Roesli menjadikan musik dan teater sebagai sebuah medium untuk bercermin, mengkritisi, alat protes, dan mengingatkan bahwa pernah ada suatu masa di mana Indonesia diselimuti oleh kegelapan, keculasan penguasa, dan penindasan.
Harry Roesli meninggal pada 11 Desember 2004, tepat pada hari ini 16 tahun yang lalu. Warisan Harry masih terjaga di Bandung melalui Rumah Musik Harry Roesli.