Djawanews.com – Banyak jama’ah haji dari Indonesia menawarkan diri menjadi relawan untuk membantu para lansia dan jama’ah yang berkursi roda. Hal itu dilakukan oleh Pasukan Kursi Roda (PaKuDa) Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (KBIHU) Aisyiyah Jogja.
Salah satu anggota PaKuDa KBIHU Aisyiyah Jogja Alfis Khoirul Khisoli SkomI menerangkan, penyelenggaraan ibadah haji tahun ini mengambil tagline “haji ramah lansia”. Sesuai dengan tagline tersebut, maka 30 sampai 40 persen jama’ah haji Indonesia terdiri dari lansia. Bahkan di beberapa kloter lansianya bisa lebih banyak lagi.
Menurutnya, tidak semua lansia membutuhkan pelayanan khusus. Lansia berusia 82 tahun, yang fisiknya bagus, bisa melaksanakan aktivitas dan manasik tanpa membutuhkan bantuan. Namun usia belum lanjut, karena menderita penyakit tertentu, justru membutuhkan bantuan.
"Setidaknya setiap kloter memiliki jama’ah menggunakan kursi roda dalam beraktivitas," ujarnya kepada Radar Jogja, Senin 10 Juli.
Alfis menerangkan jama’ah yang tergabung dalam KBIHU ‘Aisyiyah se-DIJ, ada 68 yang menggunakan kursi roda. Mereka membutuhkan bantuan orang lain dalam seluruh mobilitasnya, terutama dalam pelaksanaan manasik.
Alfis juga mengatakan di situ juga ada jama’ah yang berangkat ke Tanah Suci tanpa disertai pendamping dari pihak keluarga. Sekalipun ada pendamping, baik suami maupun istri, tapi pasangannya juga tidak mampu mendorong. Alhasil itu membutuhkan tenaga orang lain yang bisa dan mau membantu mobilitas.
"Memang tidak semua manasik haji harus dipenuhi secara sempurna. Dengan prinsip memudahkan dalam ranah fiqh dan ushul fiqh, maka bermalam di Mudzdalifah, untuk jama’ah berkursi roda hanya disafarikan," katanya
Alfis menerangkan kalau para jama’ah itu tidak bermalam, bahkan turun dari bis pun tidak dilakukan. Mereka hanya diajak berkeliling di Mudzdalifah menggunakan bis yang ditumpangi pada malam pasca melaksanakan wukuf di Arafah, kemudian diantarkan langsung kembali ke Tenda Mina bersama pandamping masing-masing.
Demikian pula saat melempar jamarat. Hal itu masih bisa dilakukan kepada jama’ah lain yang bisa dan rela dimintai bantuan, kecuali bermalamnya di Mina yang tidak bisa digantikan. Namun bermalam di Mina pada dasarnya adalah aktivitas harian, sehingga bisa duduk atau tiduran di dalam tenda, walau dalam kondisi berdesak-desakan. Kegiatan ibadah hanya shalat lima waktu.
Untuk prosesi ibadah seperti wukuf di Arafah, thawaf dan sya’i, baik pada saat thawaf kedatangan (qudum) maupun thawaf ifadhah, jama’ah berkursi roda mau tidak mau harus melaksanakannya.
"Untuk itu membutuhkan relawan yang bisa membantu pelaksanaan ibadah mereka," ucap Alfis.
Bagi pengguna kursi roda bukan hanya masalah pelaksanaan ibadah. Tetapi proses menuju tempat melaksanakan ibadah pun perlu membutuhkan bantuan.
Alfis menuturkan di sana, hotelnya cukup jauh dari Masjid Al Haram. Sehingga, untuk menuju ke sana harus menggunakan bis. Dan itu menjadi tantangan tersendiri bagi pengguna kursi roda dan pendampingnya atau yang membantunya.
"Naik turun bis bagi orang sehat tidak masalah. Namun bagi jamaah berkursi roda bukan hal yang sederhana. Semua membutuhkan bantuan pihak lain," tegasnya.
Untungnya, jama’ah haji Indonesia memiliki mental sangat positif. Banyak jama’ah menawarkan diri menjadi relawan untuk membantu para lansia dan jama’ah yang berkursi roda.
"Haji sebagai puncak mendekatkan diri kepada Allah, tidak menghilangkan nilai-nilai kemanusiaan para jama’ah. Justru semangat menolongnya semakin tinggi," ungkap Alfis.
Alfis menambahkan, hal itu tampaknya menjadi gambaran sikap dan karakter orang yang sudah mendapatkan celupan ketuhanan. Mereka menolong orang lain tanpa pamrih. Tujuannya hanya satu bagaimana teman satu regu, satu rombongan, atau satu KBIHU bisa sukses melaksanakan semua rangkaian manasik haji.
"Para relawan yang mendorong kursi roda menjadi ujung tombak kesuksesan semua manasik bagi jama’ah yang menggunakan kursi roda," tuturnya.
Alfis menceritakan relawan kursi roda ini seperti tidak kenal lelah. Mereka harus mendorong jama’ah sepanjang satu kilometer untuk satu putaran thawaf di roof top. Maka selama prosesi thawaf relawan harus mendorong kursi roda sepanjang tujuh kilometer.
Sementara itu, jarak antara Bukit Shafa dan Marwa sepanjang 400 meter. Artinya proses sya’i harus mendorong kursi roda sepanjang 2,8 kilometer. Jadi total perjalanan mendorong kursi roda ketika thawaf dan sya’i mencapai kurang lebih 9,8 kilometer.
"Belum lagi jarak dari terminal hingga Masjidil Haram bisa mencapai satu kilometer. Maka perjalanan relawan pendorong kursi roda hampir 11,8 kilometer," beber Alfis
Walau pun demikian, jarak sepanjang itu bukan lah masalah dan tidak menyurutkan niat serta semangat para relawan untuk menolong. Mereka mendorong pengguna kursi roda dengan setia. Semangat menyukseskan ibadah saudara ataupun teman merupakan tujuan utama relawan.
Para relawan bukan saja membantu yang memakai kursi roda. Namun, mereka juga saling membantu sesama relawan lain. Mereka bisa bergantian mendorong untuk menghemat tenaga agar proses ibadah bisa tuntas.
"Saking semangatnya ada beberapa relawan yang tidak sempat menghitung putaran ketika sya’i. Sehingga ada yang mendorong jama’ah berkursi roda hingga sembilan kali putaran. Lebih dua putaran dari yang seharusnya," jelas Alfis sambil tertawa.
Alfis menambahkan, ada juga relawan yang mendorong dua orang jama’ah berkursi roda secara bergantian. Namun kalau diakumulasikan, jumlah putarannya itu juga melebihi dari tujuh putaran dari kewajiban ritual sya’i. Yaitu berjalan dan di selingi dengan berlari kecil yang dimulai dari Bukit Shafa dan berakhir di Bukit Marwa.
"Relawan yang mendorong kursi memiliki peran besar dalam menyukseskan haji ramah lansia tahun 1444 H ini. Jika dalam dunia pendikan guru sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa, maka dalam ibadah haji ramah lansia yang menjadi pahlawan bagi kesuksan ibadah haji yang berkursi roda adalah para relawan," tandas Alfis.