Djawanews.com – Pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi mengubah sistem proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup dalam Pemilu 2024 menuai polemik. Langkah ini dipandang sebagai perwakilan dari sikap inkonsistensi partai politik. Selain itu, parpol dinilai kurang percaya diri dengan elit parpol karena sistem pencoblosan diubah.
“Jadi, wacana ini muncul sebagai akibat dari adanya fenomena rivalitas antara popularitas dan elektabilitas antar kader partai dalam diri partai politik,” . jelas pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Nusa Tenggara Timur, Dr Ahmad Atang, dikutip Antara, Minggu (1/1/2023).
Ia menilai jika gugatan sistem ini dikabulkan maka memicu terjadinya politik dagang sapi, dalam penyusunan nomor urut calon legislatif (caleg). Selain itu, pengabulan gugatan adalah bentuk kegagalan negara, karena tidak mampu hadirkan sistem pemilu yang bersifat permanen.
“Oleh karena itu, usulan perubahan sistem ini menggambarkan bahwa kita telah gagal melakukan karena proses politik pemilu kita juga belum menemukan format pemilu yang permanen karena para politisi kita sibuk mengganti aturan main yang selalu membingungkan publik,” katanya.
Diketahui, Diketahui, enam kader partai politik telah melayangkan gugatan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait sistem proporsional tertutup dalam perhelatan Pemilu Legislatif 2024.
Mereka menilai sistem proporsional terbuka yang berlaku saat ini bertentangan dengan UUD 1945, yakni pasal 1 ayat 1, pasal 18 ayat 3, pasal 18 ayat 1, pasal 22E ayat 3, dan pasal 28 D ayat 1.
“Menyatakan frase ‘terbuka’ pada pasal 168 ayat 2 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujar pihak pemohon sebagaimana dilansir dari website Mahkamah Konstitusi.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.