Jakarta, (19/1/2020) —Sekitar tiga puluh ribu buruh dikabarkan akan penuhi gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Senayan, Jakarta, besok (20/1). Turunnya Massa buruh ke gedung perwakilan rakyat tersebut disebabkan mereka menilai omnibus law tidak proburuh.
Mereka menuntut draf rancangan undang-undang (RUU) cipta lapangan kerja melalui mekanisme omnibus law dibatalkan.
Dua Hal Krusial dalam Omnibus Law: Kerja dan Upah
Riden Hatam Aziz selaku Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) menyebutkan dua poin omnibus law cipta lapangan kerja yang dianggapnya krusial yakni hubungan kerja dan upah minimum.
Dilansir dari Jawapos.com, menurut Riden fleksibilitas yang digaungkan pemerintah dalam hubungan kerja sejatinya menyesatkan. Status hubungan kerja yang dipermudah malah akan mengaburkan status pekerja.
”Kontrak saja kami menolak karena tidak ada kepastian kerja. Apalagi sekarang fleksibel, pasti lebih tidak jelas,” kata Riden dalam acara pernyataan bersama serikat buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Jakarta, Sabtu (18/1).
Begitu juga terkait upah minimum, serikat buruh memiliki pandangan yang kurang lebih sama. Skema upah per jam yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah juga dianggap menjerumuskan. Seperti halnya status pekerja, dengan hitungan gaji per jam, skema jaminan sosial jadi tidak jelas. Sedangkan sebelumnya, skema jaminan sosial dihitung berdasarkan gaji per bulan.