Djawanews.com – Seorang ibu rumah tangga berinisial V menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), namun justru dikriminalisasi di pengadilan.
Perempuan korban KDRT tersebut terjerat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam keterangan pers, Rabu, 17 November, memprotes proses hukum yang justru menempatkan V, yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sebagai terdakwa. V diancam 1 tahun penjara di Pengadilan Negeri Karawang dengan tuduhan melakukan kekerasan psikis terhadap mantan suaminya.
”Kondisi ini merupakan cermin ketidakmampuan aparat penegak hukum, khususnya kepolisian dan kejaksaan, dalam memahami relasi kuasa dalam kasus-kasus KDRT,” ujar Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani.
Komnas Perempuan menilai kriminalisasi terhadap perempuan korban KDRT merupakan kesalahan penerapan hukum. UU Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT) semestinya mengenali kerentanan khas perempuan sebagaimana Pasal 1 UU PKDRT.
Karena itu, Komnas Perempuan mendorong majelis hakim di Pengadilan Negeri Karawang agar meninjau kembali Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dalam pemeriksaan kasus tersebut.
Andy menerangkan, Komnas Perempuan menerima pengaduan dari V yang menjadi korban KDRT berulang dan berlapis pada Juli 2021. V setelah menikah tahun 2011 mengikuti suaminya, CYC, ke Taiwan.
Selain berbohong tentang status perkawinannya, suaminya yang sering mabuk dan menjadikan V sebagai pencari nafkah utama.
Selain itu, V juga mengalami kekerasan ekonomi akibat utang CYC, termasuk untuk mengembalikan pinjaman atas mahar perkawinannya. Hal ini menyebabkan V memilih kembali ke Indonesia, mengembangkan usahanya, dan menjadi sponsor bagi CYC untuk mendapat kewarganegaraan di Indonesia.
Atas peristiwa KDRT berlapis dan berulang serta dalam kurun waktu lama, V kemudian menggugat cerai.
Gugatan ini telah diputus oleh Pengadilan Negeri Karawang pada Januari 2020 dengan memberikan hak asuh anak kepada V, selaku ibu, dan CYC harus menafkahi serta membiayai pendidikan kedua anaknya.
Namun, pada Juli 2020, CYC mengajukan banding dan meminta pembagian harta gono-gini dibagi rata. Di tingkat banding, V menang. CYC sempat mengajukan kasasi, tetapi kemudian dicabut pada Maret 2021.
Pada akhirnya, CYC melaporkan V atas tindak pidana KDRT psikis (Pasal 45 UU Penghapusan KDRT) karena V mengusirnya dari rumah dan menghalanginya bertemu dengan anak pada bulan Juli 2020. Laporan tersebut diproses hingga akhirnya V menjadi terdakwa.
Ingin tahu informasi lainnya? Pantau terus Djawanews dan ikuti akun Instagram milik Djawanews