Djawanews.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyita perhatian publik perihal baliho Firli Bahuri untuk maju di Pilpres 2024. “Pemasangan baliho tersebut, kami pastikan bukan program KPK,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Juru Bicara (Jubir) KPK Ali Fikri dalam keterangan tertulis, Jumat, 27 Mei.
Ali Fikri mengatakan kegiatan sosialisasi dan kampanye yang dilakukan KPK fokus pada upaya membangun kesadaran masyarakat hingga mewujudkan budaya antikorupsi.
KPK Sebut Isu Politik Soal Pilpres 2024 Bakal Terus Ada Sampai Pelaksanaannya
Menurutnya, isu politik, khususnya Pilpres 2024, terus mengemuka. “Kami berharap, isu ini tidak mengganggu fokus kerja pemberantasan korupsi yang menjadi komitmen KPK,” ujarnya.
Ia memaparkan bahwa pelaksanaan tugas KPK secara konkret bisa mendukung perwujudan politik yang berintegritas, bersih dari korupsi. “KPK terus mengajak keterlibatan masyarakat, melalui perannya masing-masing, untuk berkolaborasi dan bahu-membahu dalam memberantas korupsi di negeri tercinta ini,” kata Ali Fikri.
Sebelumnya, KPK juga mendapat sorotan dari lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) tentang minimnya peran lembaga ini dalam pengembalian kerugian negara dari kasus korupsi. ICW mencatat kerugian keuangan negara yang timbul akibat kasus korupsi sepanjang 2021 mencapai Rp 62,9 triliun.
Jumlah tersebut melampaui tahun sebelumnya dengan jumlah kerugian Rp 56,7 triliun. Dari jumlah tersebut, KPK menangani perkara yang menimbulkan kerugian keuangan negara Rp 802 miliar.
“KPK praktis hanya menangani sekitar satu persen persen dari total kerugian keuangan negara yang timbul sepanjang tahun 2021. Ini semakin memperlihatkan ketiadaan perspektif asset recovery dari KPK,” ujar peneliti ICW Kurnia Ramadhana, Ahad, 22 Mei.
Dari analisa ICW, Kurnia menyebut pengembalian kerugian negara banyak disumbang Kejaksaan baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksan Negeri. “Ini menjadi kritik kepada KPK agar fokus juga terhadap kasus-kasus yang memiliki irisan dengan kerugian keuangan negara,” tuturnya.
Namun, KPK membantah hal tersebut. “Dari analisis yang salah kaprah, maka kesimpulan prematur yang dihasilkan pun bisa dipastikan keliru,” kata Ali Fikri.
Menurut Ali, ICW mencampurkan pembahasan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemerantasan Tindak Pidana Korupsi dengan pasal suap dan sejenisnya. Menurut Ali, KPK paling sering menggunakan pasal suap dan gratifikasi. “Tipologi korupsi pasal suap secara normatif tidak ada kaitannya dengan kerugian negara,” katanya.
Dia mengatakan analisis yang salah kaprah itu, membuat ICW akhirnya keliru mengambil kesimpulan. Kekeliruan itu, terutama pada pembahasan aspek pidana badan, jumlah uang pengganti, maupun tuntutan pidana tambahan lainnya. Pidana tambahan beragam, seperti pencabutan hak politik.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.