Djawanews.com – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan bahwa saat ini Indonesia tengah dihadapi oleh berbagai tantangan eksternal, mulai dari Amerika Serikat (AS) yang mengalami resesi dan pertumbuhan ekonomi China yang juga mengalami pertumbuhan negatif.
Tensi geopolitik Rusia-Ukraina turut memperparah gejolak harga di seluruh dunia, mengingat kedua negara tersebut merupakan produsen terbesar energi dan pangan di dunia, termasuk pupuk.
"Perangnya di Eropa, tapi dampaknya ke seluruh dunia. Krisis pangan, energi terjadi. Karena Rusia produsen energi yang termasuk terbesar di dunia. Dan Ukraina-Rusia produsen pangan terbesar pangan di dunia, termasuk pupuk," jelas Sri Mulyani saat memberikan sambutan pada Dies Natalis Ke-7 PKN STAN pada Jumat, 29 Juli.
"Maka dalam inflasi yang muncul karena pemulihan ekonomi tidak diikuti supply, ditambah disrupsi perang, dunia tidak baik-baik saja. Inflasi di berbagai negara melonjak tinggi," kata Mulyani lagi.
Pun inflasi yang tinggi saat ini di AS, Eropa, dan Inggris memiliki dampak rambatan terhadap perekonomian Indonesia. Dengan inflasi yang tinggi, bank sentral negara-negara tersebut mengetatkan likuiditas, dan meningkatkan suku bunga.
"Apa hubungannya dengan kita, kalau kenaikan suku bunga dan likuiditas cukup kencang, maka pelemahan ekonomi global terjadi," jelas Mulyani.
Sri Mulyani Utarakan Soal Indonesia Harus Bersiap Datangnya Bencana Krisis Pangan dan Energi
Dampak pelemahan ekonomi global, kata Mulyani mulai terlihat di Amerika Serikat dan China, yang merupakan mitra dagang Indonesia. Amerika Serikat (AS) secara definisi telah mengalami resesi. Negeri itu, mencatatkan pertumbuhan negatif dua kali berturut-turut selama dua kuartal dalam tahun yang sama.
Dalam pengumuman terbaru Biro Statistik, produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal II-2022 kontraksi atau negatif 0,9% secara tahunan (year-on-year/yoy). Padahal di kuartal I-2022 yoy, pertumbuhan pun tercatat negatif sebesar 1,6%.
Sementara China yang juga telah merilis pertumbuhan ekonomi di kuartal II-2022, tercatat menurun ke 0,4% dari pertumbuhan pada kuartal sebelumnya di 2,5%. Pertumbuhan ekonomi tersebut juga di bawah prediksi pasar di 5,5%.
Pelemahan ekonomi di AS dan China turut diwaspadai sang bendahara negara. "Hari ini Anda baca berita, AS negatif growth Kuartal II, technically masuk resesi. RRT (China) seminggu lalu keluar dengan growth Kuartal II yang nyaris 0," jelas Mulyani.
"Apa hubungannya dengan kita lagi? AS, RRT, Eropa adalah negara-negara tujuan ekspor Indonesia. Jadi, kalau mereka melemah, permintaan ekspor turun dan harga komoditas turun," kata Sri Mulyani.
Meskipun ekonomi Indonesia terbilang tangguh, terlihat dari APBN Surplus di bulan Juni sebesar Rp 73,6 triliun atau 0,39% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), Mulyani tak ingin jumawa. "Kemarin sore kami menyampaikan APBN hingga Juni surplus, kita tak jumawa," ujarnya.
"Kita tahu situasi masih cair dan dinamis. Berbagai kemungkinan bisa terjadi dengan kenaikan suku bunga, capital outflow terjadi di seluruh negara berkembang dan emerging, termasuk Indonesia, dan bisa mempengaruhi nilai tukar, suku bunga, dan inflasi di Indonesia," kata Sri Mulyani lagi.
Dapatkan warta harian terbaru lainya dengan mengikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.