Djawanews.com – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu'ti mengatakan pihaknya masih menolak Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (PPKS).
Dilansir dari CNNIndonesia.com, Abdul juga meminta Mendikbudristek Nadiem Makarim untuk mengakomodasi aspirasi dari kalangan umat Islam prihal polemik Permendikbud tersebut.
"Sebaiknya Mendikbud mengakomodasi aspirasi masyarakat, khususnya umat Islam," kata Abdul, dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat, 12 November.
Ia masih berupaya untuk melakukan komunikasi ke Nadiem agar aturan tersebut bisa direvisi, meskipun Muhammadiyah masih tetap pada sikapnya.
"Sambil berusaha melakukan komunikasi. Komunikasi ke Mendikbud, agar beliau bisa merevisi," kata Mu'ti.
Sementara, Nadiem sendiri menyatakan bakal meninta masukan dari berbagai pihak dalam beberapa bulan ke depan usai Permendikbudristek 30/2021 menuai polemik di tengah masyarakat. Terutama dengan kalangan para dosen dan mahasiswa.
"Semua masukan itu, kami dalam beberapa bulan ke depan, kami pasti akan datang dan sowan ke berbagai macam pihak dan mengerti kalau mereka punya kekhawatiran," kata Nadiem dalam diskusi Merdeka Belajar episode 14 'Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual' yang berlangsung virtual, Jumat (12/11).
Nadiem juga menyatakan bantahan terhadap anggapan penyusunan Permendikbudristek PPKS di Lingkungan Perguruan Tinggi tidak dilakukan secara terbuka.
Mengingat penyusunan tersebut telah melalui proses penyusunan teks regulasi, uji publik, hingga harmonisasi yang melibatkan berbagai macam unsur yang berkepentingan hingga memakan waktu 1,5 tahun.
Sebelumnya, Muhammadiyah meminta agar Nadiem mencabut aturan tersebut karena aturan tersebut terdapatnya frasa ‘tanpa persetujuan korban’.
Frasa ini mengacu kepada definisi kekerasan seksual dalam pasal 5 pada ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf j, huruf l, dan huruf m. Muhammadiyah menilai frasa ini dapat mendegradasi substansi kekerasan seksual, yang mengandung makna dapat dibenarkan apabila ada persetujuan korban.
Lain halnya dengan sejumlah aktivis HAM yang mendukung Permendikbud itu sebagai jaminan terhadap rasa aman dan perlindungan bagi pihak yang potensial menjadi korban ataupun korban kekerasan seksual di kampus.
Ingin tahu informasi mengenai Berita Hari Ini lainnya? Pantau terus Djawanews dan ikuti akun Instagram milik Djawanews