Djawanews.com – Kelompok militan Palestina Hamas akhirnya mencapai kesepakatan untuk melakukan gencatan senjata dengan Israel setelah 15 bulan perang di Gaza. Gencatan senjata akan mulai berlaku efektif pada Minggu, 19 Januari.
Kesepakatan bertahap yang rumit ini menguraikan gencatan senjata awal selama enam minggu dengan penarikan pasukan Israel secara bertahap dari Jalur Gaza, tempat puluhan ribu orang telah terbunuh.
Para sandera yang ditawan oleh kelompok militan Hamas, yang menguasai Gaza, akan dibebaskan sebagai ganti tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel.
Pada konferensi pers di Doha, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani mengatakan gencatan senjata akan mulai berlaku pada Hari Minggu.
Para negosiator bekerja sama dengan Israel dan Hamas untuk melaksanakan kesepakatan tersebut, katanya.
"Kesepakatan ini akan menghentikan pertempuran di Gaza, meningkatkan bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan bagi warga sipil Palestina, dan menyatukan kembali para sandera dengan keluarga mereka setelah lebih dari 15 bulan ditawan," kata Presiden AS Joe Biden di Washington, melansir Reuters 16 Januari.
Seorang pejabat Palestina yang dekat dengan pembicaraan tersebut mengatakan, para mediator berusaha membuat kedua belah pihak menghentikan permusuhan sebelum gencatan senjata dimulai pada hari Minggu.
Warga Palestina menanggapi berita tentang kesepakatan tersebut dengan merayakan di jalan-jalan Gaza, tempat mereka menghadapi kekurangan makanan, air, tempat tinggal, dan bahan bakar yang parah. Di Khan Younis, kerumunan orang memadati jalan-jalan di tengah suara klakson saat mereka bersorak, melambaikan bendera Palestina, dan menari.
"Saya bahagia. Ya, saya menangis, tetapi itu adalah air mata kebahagiaan," kata Ghada, seorang ibu lima anak yang mengungsi.
Dalam sebuah pernyataan media sosial yang mengumumkan gencatan senjata, Hamas menyebut pakta itu "sebuah pencapaian bagi rakyat kami" dan "titik balik."
Di Tel Aviv, keluarga sandera Israel dan teman-teman mereka bersukacita mendengar berita itu, mengatakan dalam sebuah pernyataan, mereka merasakan "kegembiraan dan kelegaan yang luar biasa (atas) kesepakatan untuk membawa pulang orang-orang yang kami cintai."
Penerimaan Israel atas kesepakatan itu tidak akan resmi sampai disetujui oleh kabinet keamanan dan pemerintah negara itu, dengan pemungutan suara dijadwalkan pada hari Kamis, kata seorang pejabat Israel.
Kendati demikian, kesepakatan itu diharapkan akan disetujui meskipun ada tentangan dari beberapa garis keras dalam pemerintahan koalisi Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu termasuk Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang mengulangi kecamannya terhadap perjanjian itu pada hari Rabu.
PM Netanyahu menelepon Presiden Biden dan Presiden terpilih AS Donald Trump untuk mengucapkan terima kasih dan mengatakan dia akan segera mengunjungi Washington, kata kantornya.
Kesepakatan ini buah dari usaha berbulan-bulan para mediator yang terdiri dari Qatar, Mesir dan Amerika Serikat, untuk mengakhiri konflik dengan perundingan tidak langsung.
Jika berhasil, gencatan senjata akan menghentikan pertempuran yang telah menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza yang padat penduduk dan menggusur sebagian besar penduduk daerah kantong kecil itu yang berjumlah 2,3 juta jiwa sebelum perang.
Itu diharapkan dapat meredakan ketegangan di seluruh Timur Tengah yang lebih luas, tempat perang telah memicu konflik di Tepi Barat yang diduduki Israel, di Lebanon, Suriah, Yaman dan Irak, dan menimbulkan kekhawatiran akan perang habis-habisan antara musuh bebuyutan regional Israel dan Iran.
Tahap pertama dari kesepakatan tersebut mencakup pembebasan 33 sandera Israel, termasuk semua wanita, anak-anak, dan pria berusia di atas 50 tahun. Dua sandera Amerika, Keith Siegel dan Sagui Dekel-Chen, termasuk di antara mereka yang akan dibebaskan pada tahap pertama, kata seorang sumber.
Kesepakatan tersebut menyerukan lonjakan bantuan kemanusiaan ke Gaza, dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menekankan "prioritas sekarang adalah meringankan penderitaan luar biasa yang disebabkan oleh konflik ini."
Baik PBB maupun Komite Palang Merah Internasional mengatakan mereka tengah bersiap untuk meningkatkan operasi bantuan mereka secara besar-besaran.
Negosiasi untuk melaksanakan tahap kedua kesepakatan akan dimulai pada hari ke-16 tahap pertama, dan tahap ini diharapkan mencakup pembebasan semua sandera yang tersisa, gencatan senjata permanen, dan penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza.
Tahap ketiga diharapkan membahas pemulangan semua jenazah yang tersisa dan dimulainya rekonstruksi Gaza yang diawasi oleh Mesir, Qatar, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Jika semuanya berjalan lancar, Palestina, negara-negara Arab, dan Israel masih harus menyetujui visi untuk Gaza pascaperang, tantangan berat yang melibatkan jaminan keamanan bagi Israel dan investasi miliaran dolar untuk rekonstruksi.
Satu pertanyaan yang belum terjawab adalah, siapa yang akan memimpin Gaza setelah perang?
Israel menolak keterlibatan apa pun oleh Hamas, yang telah memerintah Gaza sejak 2007 dan secara resmi bersumpah untuk menghancurkan Israel. Namun, Israel hampir sama-sama menentang pemerintahan Otoritas Palestina, badan yang dibentuk berdasarkan perjanjian perdamaian sementara Oslo tiga dekade lalu, yang telah membatasi kekuasaan pemerintahan di Tepi Barat.
Diketahui, konflik terbaru di Gaza pecah pada 15 Oktober 2023, saat kelompok militan Palestina yang dipimpin Hamas menyerang wilayah selatan Israel, menyebabkan 1.200 orang tewas dan 250 lainnya menjadi sandera, menurut perhitungan Israel.
Kemarin, otoritas medis di Gaza mengonfirmasi, jumlah korban tewas Palestina sejak konflik pecah telah mencapai 46.707 orang dan korban luka-luka 110.265 orang, mayoritas anak-anak dan perempuan, dikutip dari WAFA.