Djawanews.com – Ekonom senior Indef (Institute for Development of Economics and Finance), Faisal Basri membeberkan kalau dirinya sendiri tidak anti investasi China.
Menurut Faisal Basri, sejauh ini nilai investasi dari China posisinya masih di nomor 2 dan jauh lebih besar dari Singapura. Ia juga mengatakan Indonesia masih kalah dengan Malaysia, Singapura, Thailand untuk meraup investasi dari China.
“Pinjaman terbesar kita dari Singapura. Jadi tak benar kita dikuasai oleh China, sampai sekarang kita tak dibelit China,” kata Faisal Sabtu malam 29 Oktober lalu.
Faisal menerangkan tetap ada yang harus diwaspadai dari pola investasi China, seperti menyangkut penyertaan tenaga kerja tak terlatih.
Koefisien investasi dan penyertaan tenaga kerja dari China 3,4. Secara kasarnya, untuk 1 juta dolar investasi, China membawa 3,4 tenaga kerja, sedangkan Korea Selatan membawa 1,6, dan Singapura sebagai investor terbesar justru cuma membawa 0,1 pekerja.
Hal yang sangat memprihatinkan adalah China bebas membawa tenaga kerja bukan tenaga ahli. Contohnya seperti tukang kebun, sopir forklift, juru masak, satpam dll. Bahkan, di tengah pandemi para tenaga kerja asal China tetap diizinkan masuk terus.
“Jumlahnya puluhan ribu orang itu. Tak benar yang dibilang Pak Luhut Cuma 3.500. Saya ada datanya. Mereka datang dari Sam Ratulangi, Manado. Sebagian masuk dengan visa status kunjungan,” ungkap Faisal.
Faisal Basri Minta Pemerintah Jangan Obral Fasilitas Layaknya Kasus Smelter Nikel
Faisal menegaskan pada pemerintah jangan mengobral berbagai fasilitas dan terlalu gampang mengiyakan keinginan China dalam setiap negosiasi karena ada konsekuensi geopolitik, geostrategis, geosecurity.
“Keberatan saya adalah, jangan mengobral fasilitas kepada China seperti yang terjadi pada kasus smelter nikel,” tegasnya.
Faisal memberikan gambaran, kalau pengusaha China mempunyai smelter di negaranya sendiri dia akan membeli biji nikel di pasar internasional seharga 80 dolar per ton. Tapi dengan punya smelter di Indonesia dia cukup keluarkan 20 dolar per ton.
“Kan bodoh kita ini,” tegas Faisal.
Fasilitas lain yang juga diumbar adalah bebas bayar keuntungan perusahaan selama 20 tahun. Berbagai nikel hasil olahannya pun hampir 100% diekspor ke China.
“Jadi tidak benar smelter china ini mendukung industrialisasi di Indonesia tapi mendukung industrialisasi di China,” tegas Faisal dengan geram.
Faisal Basri mengaku kesal karena seharusnya DPR sudah membikin Pansus terkait isu ini. Hal tersebut telah merugikan negara sekitar Rp200 triliun dalam 5 tahun belakangan. Parahnya, sampai sekarang pun tak ada lembaga pemerintah yang menyanggah pernyataannya tersebut.
Untuk mendapatkan warta harian terbaru lainya, ikuti portal berita Djawanews dan akun Instagram Djawanews.