Djawanews.com - Seorang warganet membagikan kisah memilukan kepergian ayahnya yang kalah berperang melawan Covid-19. Warganet ini merasa, dibanding penyakit bawaan, berita hoaks adalah penyebab utama kepergian ayahnya.
"Papah Saya baru saja meninggal positif Covid dengan komorbid diabetes. Setelah pertarungan beberapa hari akhirnya Papah kalah perang melawan COVID-19. Lalu apa yang menyebabkan Papah kalah? Hoax berperan besar dalam hal ini diluar komorbid," tulis pemilik akun @HelmiIndraRP di Twitter yang menjadi viral.
Selama pandemi ini, Yefta sudah keluar dari lebih lima WhatsApp Grup. Dia memilih tak mau terganggu dengan pesan berantai bertema 'Covid-19' dari anggota grup. Mulai dari pengobatan alternatif, teori konspirasi, kritik terhadap pemerintah hingga berita bohong, selama ini rutin masuk ke gawainya.
Apa yang dialami Yefta bisa jadi dialami kamu --bahkan ketika sedang membaca tulisan ini--. ingatkan kita dengan pesan berantai tentang 'Minyak Kayu Putih Obat Covid'? Atau 'Vaksin Covid-19 berisi chip'?
Data dari Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo), penyebaran hoaks terjadi tren yang melejit selama pandemi ini. Tahun 2019, ketika Covid-19 belum muncul di bumi, Mafindo mencatat hanya ada 1.200-an saja hoaks yang beredar.
"Tahun 2020, meningkat menjadi 2.298, hampir dua kali lipat," ujar Ketua Presidium Mafindo, Septiaji Eko Nugroho kepada djawanews, Sabtu 24 Juli.
Bagi Eko Nugroho, hoaks kali ini memiliki daya rusak yang demikian parah. Bahkan tanpa disadari, hoaks bisa bikin nyawa seseorang melayang ketika dia meyakini informasi itu benar.
Apalagi ketika informasi yang belum tervalidasi itu datang dari seseorang yang memiliki status di tengah masyarakat. Buat sebagian orang, tokoh-tokoh di sekitar mereka bisa jauh lebih di dengar dibanding pemerintah bahkan para ahli kesehatan.
Kata Eko Nugroho, hoaks juga bikin kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan menurun. Dan parahnya lagi penolakan untuk mau disuntik vaksin.
"Bahkan beberapa hoaks sudah memantik konflik antara masyarakat dan tenaga kesehatan, intimidasi dan perusakan terhadap rumah sakit, perusakan ambulans," lanjut Eko.
Ucapan Eko itu gampang sekali dicari buktinya. Petugas jenazah yang dianiaya hingga nakes yang mengalami persekusi, mudah sekali ditemui artikelnya di mesin pencarian Google.
"Polarisasi antara kubu rasional dan kubu denial ini sudah sangat tajam. Jadi kubu denial, penolak Covid ini menyampaikan apa yang mereka yakini, meski berasal dari informasi yang salah. Repotnya pendapat mereka bisa memengaruhi masyarakat awam yang kadang lebih mudah terpapar hoaks ketimbang fakta ilmiah," papar Eko panjang lebar.
Pemerintah pasti sudah mengerahkan segala cara supaya penyebaran Covid-19 bisa terus ditekan. Memang berbagai kebijakan yang dilempar seringkali terjadi kendala di lapangan. Tapi ketika kekalutan menghadapi Covid-19 harus dibarengi dengan cipratan hoaks, bukan tak mungkin penanganan pandemi tak akan pernah berjalan optimal.